Pigura Ginok Mudik
DEKAT Balai Banjar Delodtangluk, Sukawati, Gianyar, tinggal perajin bingkai lukisan. Tempat tinggalnya rumah merangkap bengkel kerja. Batang-batang pigura berlonjor-lonjor berselonjor bertumpuk dan melintang sebelah menyebelah kamar tidur dengan kasur tipis. Lukisan-lukisan murah berhimpitan dengan lukisan mahal, berukuran kecil dan lebar.
Ginok berasal dari Solo, kampungnya dekat Stasiun Solo Balapan. Dia dan istri cerdas membaca peluang bisnis. Mereka buka bengkel frame dekat pasar seni, cuma seratus meter jaraknya. Bengkel kerja Ginok dikepung pedagang dan pengepul lukisan. Saban hari para pedagang inilah yang meramaikan bengkel Ginok. Kalau pembeli butuh bingkai, para pedagang itu pasti menyerahkannya ke Ginok.
Cuma dua ratus meter sebelah utara Ginok, ada bengkel pigura Arjuna, Kabul pemiliknya. Dia pernah jadi sopir truk Jawa-Bali. “Bapak saya dulu juga sopir,” katanya. Kalau Ginok dari Solo, pemilik Arjuna dari Batu, Malang, Jawa Timur. Bengkel bingkai di Banjar Gelulung ini juga dikepung penjual lukisan dan pelukis. Merekalah yang meramaikan perajin Arjuna Frame. Pelukis-pelukis itu banyak berasal dari Bandung, Jawa Barat, menyewa kios di Banjar Gelulung, Banjar Delodtangluk dan Banjar Bedil. Mereka menyerahkan karya ke pedagang, sering juga menerima pesanan langsung. Ada pula pelukis dari Jember, Surabaya, Yogya, atau dari Negara, Bali.
Mereka semua mengaku bukan pelukis, tapi tukang gambar. ”Kami menggambar demi uang, buat bertahan hidup,” begitu rata-rata mereka berkomentar. “Tidak pegang kuas dan menggores kanvas, kami tidak makan.” Beberapa pelukis itu tidak mudik Lebaran kali ini. Mereka mengaku tak cukup punya ongkos buat pulang kampung. Ketika Lebaran, menjelang tengah hari mereka melukis, bekerja. Ahmad Saripudin dari Bandung yang menyewa satu petak kios di depan SMAN 1 Sukawati, misalnya, seratus meter utara Arjuna Pigura, tidak mudik. Di hari Lebaran ia menyelesaikan pesanan lukisan pemandangan sawah dengan padi menguning berjuntai-juntai.
Pemilik bengkel Arjuna Frame di Banjar Gelulung juga tidak mudik. Beberapa pelukis dan pedagang yang butuh bingkai gambar segera, masih bisa memesannya di sini. Ginok dan Arjuna tentu bersaing mendapat pelanggan, namun mereka bekerja sama juga. Jauh hari sebelum mudik ke Solo, Ginok memberitahu pelanggannya kalau ia bakal mudik lama. “Lebih sebulan,” ujarnya. “Akhir Mei baru saya kembali buka.” Karena itu ia menyarankan agar pelanggannya memesan frame ke Arjuna saja. Mereka bersaing, tapi berkawan.
Ternyata banyak pelanggannya yang fanatik Ginok. “Saya tunggu sampean kembali saja dah,” ujar pelanggan itu. “Tapi apa Bapak mau menunggu lama, sebulan lebih.”
“Tidak apa-apa,” ujar para pelanggan. Mereka maklum betapa penting makna mudik bagi para perantau. Mudik pasti menuju rumah, ke kampung halaman, tempat yang sangat dicintai, karena memendam kenangan begitu banyak. Maka mudik tidak selalu berarti semata pulang. Para pelanggan Ginok bertukar kabar sesama teman. “Mau bikin frame ke Ginok? Gak bisa sekarang, Ginok lagi mudik.”
Mudik acap dimaknai sebagai sebuah perjuangan pulang karena jarak ditempuh begitu jauh. Ia menjadi sebuah ritual tersendiri. Butuh persiapan dan dilakoni dengan riang gembira, yang kelak menjadi endapan kenangan mengesankan. Seorang muslim yang tinggal di Perumahan Nuansa Udayana di Jimbaran, Badung Selatan, ditanya oleh tetangganya, mengapa ia tidak mudik? “Mudik lho, Bli.” Si tetangga kaget karena warga muslim ini santai-santai saja tiga hari menjelang Lebaran. Tak ada persiapan.
“Mudiknya ke mana, Mas?” “Ke Tuban, Bli.” “Wah, jauh, lama di perjalanan ya? Macet.” “Dekat kok, Bli. Saya mudik ke Tuban. Bapak, ibu, kakak dan adik-adik saya tinggal di Kelurahan Tuban, Kuta, dekat Bandara Ngurah Rai. Dari sini sepuluh menit juga sampai.” Si tetangga, orang Bali, terbahak-bahak, menyalami warga Muslim. “Selamat merayakan Lebaran, Mas, mohon maaf lahir batin.” “Lebarannya tiga hari lagi, Bli.” “Nanti pas Lebaran kita salaman lagi, selamat hari rayanya dobel, mohon maafnya berlipat.” 7
Komentar