33 Pamangku Layani Pamedek 24 Jam
Selama Karya di Pura Penataran Agung Besakih
AMLAPURA, NusaBali - Ribuan pamedek bersembahyang di Pura Penataran Agung Besakih, datang silih berganti selama 24 jam. Selama itu pula 33 pamangku melayani persembahyangan.
Membeludaknya pamedek sejak puncak Karya Ida Bhatara Turun Kabeh, Purnama Kadasa, Redite Kliwon Pujut, Minggu (24/3), yang akan berakhir, Redite Umanis Merakih, Minggu (14/4). Setiap pemedek yang datang, selalu dapat pelayanan, karena 33 pamangku disiagakan melayani umat sedharama, ditambah pamangku pangayah yang datang dari dadia dan pamaksan. 33 pamangku itu, menurut Koordinator Pamangku di Pura Penataran Agung Besakih Jro Gede Artayasa, pamangku berasal dari Pura Penataran Agung Besakih ada 6 pamangku yakni Jro Gede Artayasa, Jro Mangku Sueca, Jro Mangku Darma, Jro Mangku Wisnu, Jro Mangku Caguan dan I Gusti Mangku Jana, selebihnya dari Pura Besakih dan sekitarnya.
33 pamangku yang disiagakan, katanya, sebagai dua shift, tiap shift bertugas 24 jam. Shift I dikoordinasikan Jro Mang Sueca sebanyak 16 pamangku, shift II dikoordinasikan Jro Gede Artayasa sebanyak 17 pamangku.
Sebenarnya, lanjut Jro Gede Artayasa, pamangku yang bertugas di shift I misalnya, masing-masing pamangku dapat tugas, sesuai jam dan kepadatan pemedek, tetapi ada juga pamangku yang bertugas lebih dari sekali di dalam satu shift. Pamangku yang bertugas pukul 07.00 Wita-12.00 Wita sebanyak 4 pamangku hingga 5 pamangku, pukul 12.00 Wita-19.00 Wita sebanyak 2 pamangku, pukul 19-00 Wita-21.00 Wita sebanyak 2 pamangku, pukul 21.00 Wita-23.00 Wita sebanyak 2 pamangku, pukul 23.00 Wita-01.00 Wita sebanyak 2 pamangku, pukul 01.00 Wita-03.00 Wita sebanyak 2 pamangku, pukul 03.00 Wita-05.00 Wita sebanyak 2 pamangku, dan pukul 05.00 Wita-07.00 Wita sebanyak 2 pamangku, selanjutnya pergantian shift.
Syukurnya, kata Jro Gede Artayasa, banyak ada pamangku pangayah dari beberapa dadia dan pamaksan, sehingga tidak pernah kewalahan melayani umat melakukan persembahyangan dari pagi hingga pagi hari.
"Hanya saja masalahnya di saat hujan, pamedek datang membawa plastik untuk alas sembahyang, sehingga nantinya meninggalkan sampah plastik, atau sampah plastik ditempatkan di tong sampah, sampah plastik jadi menumpuk," jelas Jro Gede Artayasa, pamangku dari Banjar Kedundung, ditemui di Pura Penataran Agung Besakih, Banjar Besakih Kangin, Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Karangasem, Sukra Wage Krulut, Jumat (12/4).
Walau, katanya, sebanyak 33 pamangku bertugas melayani umat sedharma, tetapi khusus pamangku yang usianya telah lanjut, bertugasnya hanya pagi hingga siang hari. Sedangkan pamangku yang usianya masih muda bertugas tengah malam hingga pagi, sehingga keesokan harinya dalam kondisi fisik tetap bugar. "Memang saya mengaturnya seperti itu, agar kontinyu mampu melayani umat sedharma," lanjut Jro Gede yang bergelar Pamangku Anglurah Bendesa.
Beda dengan saat ngaturang banten panganyar, di pagi hari, semua pamangku di Pura Penataran Agung Besakih, tedun ngayah. Pamangku suntuk ngayah, tidak lagi memikirkan pekerjaan yang lain. Sebab, lanjut Jro Gede Artayasa, pamangku yang ngayah di Pura Penataran Agung Besakih telah dapat paica, setiap 24 jam usai bertugas, seluruh sesari dihitung, kemudian dibagi tiga bagian, masing-masing: satu bagian untuk pamangku dari Pura Besakih yang terbagi dua shift, satu bagian untuk pamangku pangayah dari dadia atau pamaksan, dan satu bagian lagi untuk Ida Bhatara (untuk keperluan upacara).
Setiap pamedek yang hendak melakukan persembahyangan diantarkan Jro Mangku, sembari nguncarang genta. Genta yang merupakan senjata sakti Dewa Iswara, merupakan manisfestasi Ida Sang Hyang Widhi sebagai penguasa suara, sehingga menambah khusyuknya persembahyangan.
Terlebih lagi kekuatan genta terletak pada nada suara, yang melambangkan nada Brahman atau nada Tuhan, juga sebagai lambang nada semesta. Sesuai amanat kitab suci, Lontar Kusuma Dewa, hanya pamangku dan sulinggih yang berhak menggunakan genta.
Foto: Jro Gede Artayasa. -NANTRA
Sebab, melalui suara sakral genta, pertanda memulai persembahyangan, sehingga mampu mengundang para dewa, tedung saking luuring langit, tetapi suara genta bisa macam-macam tergantung teknik memukulnya, ada nada suara Bima Kroda, Sampi Ngeleb, Lembu Amangan Dukut, Kumbang Ngisep Sari, dan lain-lain.
Genta itu juga yang digunakan muput, sebagai lambang kekuatan untuk menembus kegelapan kabut alam semesta, hingga terdengar ke singgasana para dewa di surga. Genta pamangku itu juga sebagai simbol mempertemukan kekuatan Tuhan yang ada dalam diri manusia (atman) yang disimbolkan dupa, dengan kekuatan Tuhan di alam luas (Brahman) disimbolkan dengan dipa.
Di samping itu, menurut I Gusti Mangku Jana, tak kalah penting dalam melakukan persembahyangan, menggunakan sarana api dupa, yang merupakan energi inti sari alam semesta, atau disebut prana api.
Sebab api merupakan saksi utama di tiap upacara, yang disebut Tri Agni, yang pertama ahawanya adalah api untuk memasak, kedua grhaspatya adalah api untuk upacara perkawinan, ketiga citagni adalah api untuk membakar jenazah, dan api suci adalah api yang selalu dipuja.
Menurut I Gusti Mangku Jana, di setiap persembahyangan di Pura Penataran Agung Besakih, mestinya disertai gita yadnya. Hanya saja jarang dilakukan, padahal sebagai pengantar ritual, nyanyian rohani itu untuk menyambut kedatangan para dewa.
Gita Yadnya itu sesungguhnya, nyanyian rohani, atau kidung suci, yang dilantunkan juga mampu menstabilkan pikiran, mampu mengurangi ketegangan, sehingga umat lebih khusyuk.
Apalagi vibrasi atau getaran spiritual berasal dari nyanyian rohani itu, mampu menyentuh semua umat yang datang sehingga suasana persembahyangan lebih hening, dan khidmat. Persembahyangan diakhiri dengan nunas tirtha. Tirtha sebagai bentuk anugerah Ida Bhatara Samudaya. Tirtha itu sendiri berasal dari kata tristharayadhi atau air suci.
Para pamangku sebelum memercikkan tirtha kepada umat yang sembahyang, terlebih dahulu memohon kepada Ida Bhatara Samudaya, yakni berupa tirtha wasuh.
Terlebih lagi tirtha itu, dijiwai Dewa Wisnu sebagai manifestasi Ida SangHyang Widhi, sebagai pemelihara (stiti), dan Dewa Indra atau dewa hujan sebagai dewa kemakmuran, sehingga umat yang mendapatkan tirtha itu menambah kedamaian di hatinya.
Usai mathirta seluruh pamedek wajib mengenakan bija, di keningnya. Bija simbol dari bibit kesucian, benih yang menumbuhkan pohon kesucian. Jika sehabis sembahyang memakai bija, berarti secara simbolis telah menanam benih kesucian di dalam diri.
Memakai bija, artinya memekarkan rasa kesucian dalam diri pribadi. Sesuai kitab suci wedha, persembahan berupa biji (palam), adalah persembahan inti, di samping puspam (bunga), dan toyam (air).7wayan nantra
1
Komentar