Bintang Puspayoga: Mencegah Perkawinan Anak Perlu Kesepakatan Akar Rumput
MANGUPURA, NusaBali.com - Perkawinan di bawah usia 18 tahun alias perkawinan anak melanggar hak-hak anak. Selain itu, mereka juga dinilai belum siap secara fisik dan psikologis untuk melakukan proses persalinan dan membina rumah tangga.
Perkawinan anak disebabkan oleh banyak faktor mulai dari kehamilan yang tidak diinginkan, kesulitan ekonomi, ketimpangan gender, maupun karena tradisi dan agama yang berkembang di daerah setempat.
Dampak negatif perkawinan anak dinilai bersifat multidimensional. Sebab, berpengaruh terhadap kesehatan SDM yang lahir dari perkawinan anak dan terputusnya pendidikan akibat perkawinan anak.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI I Gusti Ayu Bintang Darmawati menegaskan, kasus perkawinan anak menjadi perhatian khusus lembaga yang dipimpinnya. Namun, ia juga menekankan, pemerintah tidak dapat bekerja sendiri.
"Masalah ini tidak bisa hanya diselesaikan oleh pemerintah pusat dan daerah saja. Perlu keterlibatan tokoh adat dan agama," ujar Bintang di sela acara Musyawarah Perempuan Nasional untuk Perencanaan Pembangunan 2024 di Puspem Badung, Sabtu (20/4/2024).
Keterlibatan tokoh-tokoh akar rumput dinilai sangat krusial. Terlebih, apabila perkawinan anak didorong faktor adat/tradisi dan latar belakang agama, seperti misalkan menjadikan perwakinan anak untuk menghindari zina.
Bintang menyebut, adanya kesepakatan dengan tokoh akar rumput ini meningkatkan efektivitas pencegahan perkawinan anak. Contohnya, penerapan kesepakatan akar rumput di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.
"Di Wajo, kami melihat penurunan luar biasa terhadap angka perkawinan anak. Dari 600 kasus di 2021, menjadi 300 kasus di 2022, dan 77 kasus di 2023," imbuh Bintang yang juga istri AA Gede Ngurah Puspayoga ini.
Sementara itu, pemerintah menargetkan pervalensi perkawinan anak turun ke angka 6,94 persen pada tahun 2030. Angka ini diturunkan dari target 8,74 persen tahun 2024 ini. *rat
Dampak negatif perkawinan anak dinilai bersifat multidimensional. Sebab, berpengaruh terhadap kesehatan SDM yang lahir dari perkawinan anak dan terputusnya pendidikan akibat perkawinan anak.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI I Gusti Ayu Bintang Darmawati menegaskan, kasus perkawinan anak menjadi perhatian khusus lembaga yang dipimpinnya. Namun, ia juga menekankan, pemerintah tidak dapat bekerja sendiri.
"Masalah ini tidak bisa hanya diselesaikan oleh pemerintah pusat dan daerah saja. Perlu keterlibatan tokoh adat dan agama," ujar Bintang di sela acara Musyawarah Perempuan Nasional untuk Perencanaan Pembangunan 2024 di Puspem Badung, Sabtu (20/4/2024).
Keterlibatan tokoh-tokoh akar rumput dinilai sangat krusial. Terlebih, apabila perkawinan anak didorong faktor adat/tradisi dan latar belakang agama, seperti misalkan menjadikan perwakinan anak untuk menghindari zina.
Bintang menyebut, adanya kesepakatan dengan tokoh akar rumput ini meningkatkan efektivitas pencegahan perkawinan anak. Contohnya, penerapan kesepakatan akar rumput di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.
"Di Wajo, kami melihat penurunan luar biasa terhadap angka perkawinan anak. Dari 600 kasus di 2021, menjadi 300 kasus di 2022, dan 77 kasus di 2023," imbuh Bintang yang juga istri AA Gede Ngurah Puspayoga ini.
Sementara itu, pemerintah menargetkan pervalensi perkawinan anak turun ke angka 6,94 persen pada tahun 2030. Angka ini diturunkan dari target 8,74 persen tahun 2024 ini. *rat
1
Komentar