Pariwisata Bali Mesti Ramah Perempuan
Pulau Dewata
LSM perempuan
Pariwisata Bali
Menteri PPPA
I Gusti Ayu Bintang Darmawati
Komisioner Komnas HAM
Prabianto Mukti Wibowo
Ketua LSM Bali Sruti
Luh Riniti Rahayu
Para pekerja perempuan di industri pariwisata Bali masih mengalami kekerasan seksual. Sejumlah korban melaporkan mengalami kekerasan seksual, baik fisik maupun verbal.
DENPASAR, NusaBali
Tidak dapat ditolak bahwa kemajuan pariwisata di Bali telah meningkatkan taraf hidup sebagian besar masyarakatnya. Kedatangan wisatawan, khususnya wisatawan mancanegara, membawa kehidupan modern ke hadapan masyarakat Pulau Dewata. Pelbagai bangunan mewah dan sarana prasarana berkelas internasional untuk menyambut wisatawan juga ikut dirasakan warga lokal.
Meski demikian, kemajuan bisnis pariwisata hendaknya juga perlu diselaraskan dengan kemajuan pemenuhan hak asasi manusia (HAM). Di tengah optimisme pariwisata, terungkap bahwa pariwisata dapat merenggut hak atas rasa aman.
Laporan LSM perempuan, Bali Sruti mengungkapkan, para pekerja perempuan di industri pariwisata Bali masih mengalami kekerasan seksual. Sejumlah korban melaporkan mengalami kekerasan seksual, baik fisik maupun verbal. Tindakan asusila tidak hanya dilakukan oleh wisatawan, namun juga rekan kerja laki-laki korban.
“Saya pernah melakukan sosialisasi kesetaraan gender di salah satu hotel, pesertanya perempuan semua, tidak ada laki-lakinya. Itu artinya apa?” kata Ketua LSM Bali Sruti, Luh Riniti Rahayu, dalam seminar Komnas HAM bertajuk ‘Mendorong Pariwisata yang Berkelanjutan dan Inklusif, bulan lalu.
Luh Riniti mengungkapkan, seorang pekerja perempuan di sebuah restoran dipaksa manajer untuk tetap tersenyum walaupun mendapat perlakuan tidak senonoh dari wisatawan. Hal yang sama juga dilaporkan oleh seorang tour guide perempuan.
Menurut Riniti perempuan jarang mendapatkan kesempatan jabatan tinggi dibandingkan laki-laki. Gaji pekerja perempuan umumnya lebih rendah dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan sedikitnya kesempatan perempuan meningkatkan kompetensi.
“Perempuan di Bali disibukkan dengan tugas domestik mengurus rumah tangga. Belum lagi disibukkan dengan kegiatan di desa adat. Segala rutinitas padat tersebut relatif tidak dijalani oleh kaum laki-laki,” kata Luh Riniti.
Foto: Ketua LSM Bali Sruti Luh Riniti Rahayu. – SURYADI
Luh Riniti mengatakan kekerasan terhadap perempuan harus dientaskan jika pariwisata Bali mau berkelanjutan. Undang-undang Ketenagakerjaan yang didalamnya telah mengatur pelindungan perempuan sebagai pekerja harus tegas ditegakkan.
Edukasi terkait kesetaraan gender juga harus terus dilakukan di lingkungan pariwisata. Lebih dini, edukasi bisa dilakukan dengan memasukkan kurikulum kesetaraan gender di sekolah maupun perguruan tinggi pariwisata yang jumlahnya cukup banyak di Bali.
Komisioner Komnas HAM Prabianto Mukti Wibowo memaparkan pariwisata pada dasarnya merupakan implementasi dari hak asasi manusia dalam melakukan perjalanan dan mengekspresikan waktu luang. Meski demikian ada potensi dualisme dalam bisnis pariwisata. Di satu sisi pemenuhan hak asasi melakukan perjalanan wisata, di sisi lain juga berpotensi mengebiri hak-hak asasi warga lokal.
“Pariwisata tidak lagi dapat dianggap sebagai industri yang bebas dari masalah HAM. Pelanggaran HAM dalam pembangunan pariwisata terjadi di beberapa wilayah di Indonesia,” ungkap Prabianto.
Dia menggarisbawahi, pariwisata harus memiliki perspektif yang tidak meninggalkan satu pun orang atau kelompok dalam lingkungan pariwisata. Dengan itu, idak dapat menikmati hal-hak yang seharusnya. Kesadaran HAM diharapkan mendorong Pariwisata yang inklusif di Bali.
Kabid Hukum Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA) Bali Kadek Pariani dalam kesempatan sama menyampaikan komponen pariwisata dalam wadah ASITA menjadikan kesetaraan gender sebagai isu yang sangat penting.
Sama dengan sektor bisnis lainnya, industri pariwisata juga memiliki sisi terang dan gelap. Ia menolak anggapan bahwa bisnis pariwisata di Bali diidentikkan dengan kekerasan terhadap perempuan. “Etik kita di ASITA tidak memperbolehkan hal itu (kekerasan terhadap perempuan) terjadi,” ujar pengusaha tour and travel ini. Selebihnya, pengusaha perempuan yang kini menjabat Ketua Gabungan Pengusaha Wisata
Foto: Komisioner Komnas HAM Prabianto Mukti Wibowo. - SURYADI
Bahari (Gawisri) Denpasar ini mengajak perempuan di Bali untuk kreatif mengatasi tantangan sebagai perempuan Bali. Bergelut dengan tugas domestik dan adat, jangan menjadikan perempuan Bali untuk berhenti mengembangkan diri. “Perempuan Bali harus menjadi Luh Luwih (perempuan pintar), bukan Luh Luwu (perempuan bodoh),” kata perempuan asal Sanur, Denpasar terkait mentalitas yang harus dimiliki perempuan Bali.
Semangat yang sama disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati (Bintang Puspayoga) dalam Musyawarah Perempuan Nasional di Puspem Badung, Sabtu (20/4).
Dalam momentum hari Kartini, menteri asal Bali mengingatkan kaum perempuan untuk meneladani perjuangan RA Kartini dalam mendapatkan kesetaraan perempuan dan laki-laki. “Kartini tidak pernah menyerah dengan situasi yang menekan di segala sisi kehidupannya. Dia tidak berhenti berpikir, mengasah kesadarannya tentang perempuan, tentang penindasan pribumi dan tentang adat istiadatnya,” ujar Bintang.
Bintang mengapresiasi sekaligus mendukung perempuan yang berorganisasi. Hal tersebut merupakan kesadaran bahwa perempuan tidak bisa berjuang sendirian, namun membutuhkan kekuatan kolektif supaya suaranya didengar dan diperhitungkan.
Di sisi lain Bintang mengingatkan, memperjuangkan kesetaraan gender tidak bisa dilakukan oleh pihak perempuan saja, melainkan perlu dilakukan bersama-sama oleh laki-laki maupun perempuan.
“Dalam hal ini, akses, kesempatan, perlindungan, dan rasa aman yang sama dan setara di masyarakat menjadi salah satu hak perempuan yang dijamin pemenuhannya oleh negara dan perlu dikawal implementasinya oleh kita semua,” jelasnya.7a
1
Komentar