Simbolik Wujud Syukur Atas Anugerah Dewi Sri
Cikal bakal penduduk di Desa Pakraman Talepud berasal dari Desa Sudarmaji seputar lereng Gunung Agung, yang dulunya rarud (pindah massal) karena terjadi bencana gering dan kekeringan dashyat.
Puncak tradisi ritual Masindihan ini terletak pada nyanyian berpantun antar kaum teruna ditujukan kepada kaum teruni, dan sebaliknya. Intinya, mereka saling berbalas pantun berupa sasindihan (sindiran, Red) bermaterikan kritik sosial yang sangat jamak, mulai dari soal pergaulan sehari-hari, pekerjaan, kebiasaan unik dan lucu, sekolah, hingga hal-hal lainnya.
Materi pantun ini merupakan hasil ‘rekaman’ selama setahun tentang tindakan kaum teruna atau teruni yang nyeleneh. Ritual Masindihan berupa saling sindir ini disaksikan seluruh pamangku dari Pura Kahyangan Tiga, prajuru adat, dan krama Desa Pakraman Talepud, sejak malam pukul 20.00 Wita hingga subuh pukul 05.00 Wita.
Menurut Suyasa, ada pantangan bagi teruna-teruni yang akan ngayah Masindihan semalam suntuk. Pantangan tersebut, antara lain, tidak sedang menderita luka fisik atau sedang datang bulan bagi kaum teruni. Selain itu, ritual Masindihan juga pantang untuk digelar jika sedang ada kecuntakan karena krama meninggal dunia bersamaan dengan pujawali di Pura Puseh.
Bendesa Nyoman Suyasa mengatakan, tradsi Masindihan sangat mulia untuk krama Desa Pakraman Talepud. Pasalnya, melalui ritual Masindihan, krama desa dapat menyimak dan memahami karakter dan gaya pergaulan remaja setempat. Tradisi ini juga berperan sebagai media kontrol sekaligus penyambung pesan orangtua kepada remaja.
Melalui ritual Masindihan, para orangtua juga dapat memahai seluk beluk kehidupan remaja masa kini. “Misal, kalau sampai terjadi sindihan (sindiran) pantun yang kelewatan, maka jero kelian yang menengahi. Dengan begitu, tidak pernah terjadi keributan, darah muda pun reda karena mereka punya rasa malu,” ujar tokoh adat yang juga pebisnis bidang pariwisata ini. 7 lsa
1
2
Komentar