Suwun Banten Pajegan Setinggi 3 Meter Saat Karya di Pura Samuantiga
Ni Wayan Siki,64, Krama Istri ‘Tangguh’ dari Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar
Ni Wayan Siki
Nyuwun Banten Pajegan Tegeh
Pura Kahyangan Jagat
Catut
Taluh Kakul
Banten
Pura Samuantiga
Babhinkamtibmas
Lansia
Persiapan bahan mulai dilakukan sejak seminggu terakhir, apalagi ada jajan yang dipakai harus dibuat secara tradisional di rumah, seperti Catut dan Taluh Kakul
GIANYAR, NusaBali - Banten Pajegan tegeh sudah menjadi ciri khas setiap berlangsungnya Karya Padudusan Agung di Kahyangan Jagat Pura Samuantiga di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar pada Buda Umanis Tambir, Rabu (24/4). Seperti tampak pada, Rabu pagi kemarin, seorang krama istri nyuwun banten Pajegan tegeh ini menuju utama mandala Pura Samuantiga. Tingginya banten pajegan yang diusung diperkirakan sekitar 3 meter dari atas wanci.
Krama istri ini adalah, Ni Wayan Siki,64. Dia memperkirakan berat banten pajegan yang disuwunnya sekitar 40 kilogram (Kg). Baginya, bobot ini tidak begitu berat. Namun karena kena hembusan angin, Wayan Siki harus ekstra hati-hati. Sebagai antisipasi, selama perjalanan menuju Pura Ni Wayan Siki didampingi anggota keluarganya dalam perjalanan dari rumah menuju Pura Samuantiga yang berjarak sekitar 600 meter. Bahkan Pecalang, Babhinkamtibmas dan Babinsa juga mengatensi perjalanan perempuan yang sudah tergolong lanjut usia (Lansia) ini dalam perjalanan menuju pura. Anggota Pecalang yang ada di sampingnya membawa tongkat bambu untuk menyingkirkan ranting pohon atau kabel jika menghalangi pajegan.
"Kendalanya cuma angin, kalau agak kencang anginnya jadi agak susah jalan," ungkapnya. Wayan Siki mengaku sejak belasan tahun sudah biasa nyuwun banten tegeh ini. "Astungkara, kalau tidak ada halangan tiap odalan pasti maturan banten tegeh," ujarnya. Banten tegeh ini membutuhkan cukup waktu untuk merangkai. Bahkan persiapan sanganan atau kue kering untuk banten ini sudah dibuat sejak seminggu terakhir. "Mulai bikin sanganan sudah seminggu lalu," jelasnya. Selain sanganan Bali seperti Satuh, Iwel, Catut, Taluh Kakul, Wayan Siki juga mempersiapkan aneka buah, bunga, kuwangen, dan terpenting ayam panggang sebanyak 10 ekor.
Ada beberapa hal yang menjadi keunikan banten pajegan ini, selain tingginya yang menjulang ke langit. Mulai dari proses pembuatan hingga cara menyandang sampai ke Pura pun sarat akan makna. Persiapan bahan-bahan upakaranya sudah mulai dilakukan selama seminggu terakhir. Sebab, jajan yang dipakai banten harus dibuat secara tradisional di rumahnya. Terutama untuk jajan yang dinamakan Catut dan jajan Taluh Kakul.
Selebihnya, bisa dibeli di pasaran seperti Iwel dan Satuh. Jenis pisang yang dipakai, biasanya pisang Gancan yang dipetiknya dari kebun. Selain pisang, buah lokal yang dipakai, yakni berupa tebu. Seperti layaknya banten pajegan, buah pisang diletakkan paling bawah atau di atas wanci. Selanjutnya diatur sedemikian rupa penataan aneka buah dan tebu. Sekitar 1 meter untuk buah, selanjutnya bagian atas diposisikan untuk jajan. Nah, yang tak kalah menarik adalah penataan ayam panggang tepat di depan banten pajegan. "Maka banyak disebut pajegan ayam panggang tegeh. Karena ayam panggang terlihat mendominasi," jelasnya. Jumlah ayam panggang yang dipergunakan tidak ada keharusan. Disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.
Bagian lain dari banten pajegan ini yang tak kalah penting adalah porosnya. Bukan kayu maupun gabus, melainkan berupa pelepah Pohon Enau (Jaka, red) yang dikeringkan. Proses pengeringan pun memerlukan waktu sekitar 1 tahun. Setelah kering, pelepah ini dijadikan poros. Disebut Pupug, tingginya sekitar 2 sampai 3 meter, diameter 8-10 cm. Pupug ini pun, hanya bisa dipakai sebanyak 5 kali atau 5 tahun. Hanya saja, diakui untuk mencari pelepah Jaka ini cukup sulit sebab harus mencari ke daerah gunung. 7 nvi
1
Komentar