Diskusi ‘Menimbang Pramoedya Ananta Toer’ ISI Denpasar
Gagasan Humanisme yang Relevan dengan Situasi Kekinian
DENPASAR, NusaBali - Posisi sastrawan Pramoedya Ananta Toer sudah tidak perlu dipertanyakan lagi dalam dunia sastra Tanah Air.
Air. Gagasan humanisme yang dituangkannya melalui cerita novel ataupun cerpen, seakan semakin relevan dengan situasi kekinian.
Diskusi bertajuk ‘Menimbang Pramoedya Ananta Toer - Bumi, Manu, Budi’ digelar di Kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Kamis (25/4). Diskusi menghadirkan narasumber Prof Koh Young-hun, seorang peneliti serta pengamat kesusastraan Indonesia.
Profesor di Departemen Studi Melayu-Indonesia Hankuk University of Foreign Studies (HUFS), Seoul, Korea Selatan ini telah menulis berbagai makalah dan ulasan mendalam mengenai karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Prof Koh, yang pernah menjabat Wakil Ketua Korea Association of Malay-Indonesian Studies (KAMIS) dan kini Direktur Indonesia Culture Center, Seoul, berbagi mula kisah perjumpaan dan pengalamannya mengenal Pram sejak tahun 1980-an, hingga sisi-sisi lain yang sebelumnya mungkin belum banyak diungkapkan ke publik.
Diskusi berangkat dari buku ‘Pramoedya Menggugat, Melacak Jejak Indonesia’ yang ditulis Prof Koh, terbit pertama kali tahun 2011. Kini buku tersebut telah dicetak ulang untuk kali keempat dan hadir dengan sampul baru.
Dalam buku ini, Prof Koh menganalisis dan menguraikan secara mendalam dunia Pram sapaan akrab Pramoedya melalui karya-karya tetralogi Bumi Manusia, Arus Balik, Arok Dedes, serta Gadis Pantai. Ia menyoroti kritik sosial tajam Pram terhadap penindasan dan ketidakadilan serta upayanya dalam melestarikan budaya dan sejarah Indonesia.
Konflik-konflik yang dituliskan Pram dalam novel ternyata adalah konflik yang dihadapi sehari hari. Pilihan-pilihan yang dibuat tokoh Minke dalam novel Bumi Manusia misalnya, dapat dilihat sebagai perjuangan manusia mengejar hak-hak hidupnya. Tokoh-tokoh dalam novel Pram ketika menghadapi konflik, bisa menjadi pelajaran bagi generasi saat ini menghadapi keseharian. “Karya-karya Pram memiliki pesan menarik. Benang merah yang bisa menguraikan pemikiran Pram adalah humanisme,” ujar Prof Koh.
Prof Koh melanjutkan, kritikus sastra Andries Teeuw, menyebut Pram sebagai penulis yang muncul sekali dalam satu generasi atau bahkan satu abad. Ia pun menggarisbawahi peran penting Pram dalam sastra, bukan hanya mewakili Indonesia tetapi juga kawasan Asia, dengan pemikiran yang dipengaruhi oleh humanisme. Pemikirannya didasarkan pada kebebasan manusia dari belenggu, termasuk penolakan terhadap ketidakadilan kolonial dan upaya membangun kebebasan dalam kesatuan bangsa.
“Untuk memahami dunia pemikiran Pramoedya, harus membaca karya-karyanya secara menyeluruh dan utuh, bukan hanya dari satu sisi,” kata Prof Koh mengajak generasi muda lebih mengenal sastrawan negeri sendiri. Sosok Pram memang kontroversial. Kisah hidupnya juga tidak kalah menarik dibanding kisah-kisah yang diimajinasikannya. Ada banyak pihak yang menolak eksistensinya, namun ternyata karya-karyanya lebih kuat mendobrak halangan-halangan tersebut hingga masih hidup saat ini.
Pram, kata Prof Koh, selangkah lagi menjadi penerima nobel pertama dari Indonesia, pada tahun 1986. Namun, hubungannya dengan pemerintah saat itu diduga kuat telah menggagalkan Pram menjadi peraih nobel sastra. Pram menjadi tahanan kota, dan karya-karyanya tidak diizinkan beredar. “Pramoedya dulu tidak bisa mendapat hadiah nobel karena keberhasilan diplomat Indonesia,” kata Prof Koh.
Kritikus sastra, Arif Bagus Prasetyo mengatakan Pram adalah sastrawan besar Indonesia dengan karya-karya yang sangat kuat dan tajam menyuarakan tentang humanisme atau kemanusiaan. Prosa-prosanya yang dikagumi dan diakui ketinggian mutu sastranya oleh publik nasional maupun internasional selalu kental dengan pesan perjuangan menegakkan harkat dan martabat manusia. Melalui karya sastra bercorak realisme, Pram mengungkapkan pemikiran dan sikapnya yang menjunjung hak asasi manusia, membela keadilan, dan menolak penindasan. Pembelaan kemanusiaan itu disampaikannya dengan imajinasi orisinal dan keterampilan bahasa sastra tingkat tinggi.
“Di tengah dunia kita yang masih saja dihantui perang, pelanggaran HAM dan tragedi kemanusiaan, karya-karya Pram yang membela kemanusiaan tentu masih sangat relevan hari ini. Renungan tentang ke-Indonesiaan dan kesadaran sejarah yang kuat dalam karya-karya Pram juga sangat relevan dengan situasi Indonesia di tengah pergaulan dan peradaban global zaman sekarang. Karya-karya Pram seperti terus mengingatkan agar bangsa Indonesia tidak melupakan siapa dirinya dan dari mana asalnya,” beber suami sastrawan Oka Rusmini ini.
Arif menambahkan, pengaruh Pram dalam sastra Indonesia sangat besar. Pram merupakan sastrawan termasyhur yang produktif berkarya dan banyak dikagumi oleh generasi yang lebih muda. Sikap moralnya yang teguh, kekritisannya terhadap kekuasaan yang korup dan menindas, juga sejarah hidupnya sebagai pejuang kemerdekaan sampai tahanan politik, terus mengilhami banyak orang, termasuk anak muda. Dia tidak hanya banyak dikagumi di kalangan sastra, tapi juga di lingkaran aktivis.
“Karya-karya Pram adalah ‘bacaan wajib’ bagi penulis Indonesia yang serius terjun ke dunia sastra. Hampir tidak terbayangkan menjadi sastrawan Indonesia yang serius tanpa pernah membaca karya Pram. Sedikit-banyak, idealisme dan pemikiran Pram pasti tertanam di generasi-generasi sastrawan berikutnya,” ujar Arif.
Rektor ISI Denpasar, Prof Dr I Wayan ‘Kun’ Adnyana mengatakan, diskusi kali ini merupakan sebentuk perayaan kebersamaan sejurus upaya menimbang kembali sosok, karya, dan pemikiran Pramoedya Anantara Toer yang berpulang pada 30 April 2006 silam. Prof Kun menjelaskan, program ini terangkai dalam tajuk Bali-Bhuwana Kanti (Global-Bali Arts and Culture Project Networks) seturut Festival Internasional Bali-Padma Bhuwana IV tahun 2024 yang diselenggarakan oleh ISI Denpasar.
“Dengan membaca karya-karya Pramoedya, kita diajarkan melihat Indonesia dari sisi paling insani, bukan semata yang heroik. Menghayati karya Pram mengarahkan kita pada penghayatan kehidupan, bukan semata kita hidup untuk hidup itu sendiri, tetapi hidup untuk kehidupan. Itulah ruang budi, praktik hidup yang dilandasi keinginan menyejarah,“ kata Prof Kun. 7 a
1
Komentar