Joged Jaruh Korban Kuasa Laki-laki
Prof Bawa mengajak insan pendidikan untuk ikut memikirkan fenomena joged jaruh ini. Insan yang menjunjung etika harus dimulai sejak belia, dari bangku sekolah.
DENPASAR, NusaBali - Kontroversi tarian joged jaruh atau erotis kembali mencuat dalam beberapa pekan terakhir. Dua video joged menjurus pornoaksi viral di media sosial. Sontak masyarakat kembali ramai menghujat.
Video viral diyakini hanya fenomena gunung es joged erotis atau jaruh yang ada di tengah-tengah masyarakat. Tidak mudah mengurai permasalahan tersebut, apalagi kalau hanya dari satu sisi saja.
Fakultas Pendidikan Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar mengundang sejumlah pakar Dirjen Bimas Hindu Prof Dr I Nengah Duija, Prof Dr Nengah Bawa Atmaja, Prof Dr Ida Bagus Gde Yudha Triguna, Prof Dr I Gede Arya Sugiarta SSkar MHum, dan seniman Komang Dedi Diana alias Dedi Topel, untuk mendiskusikan etika berkesenian yang menurut banyak pihak sudah kebablasan. Seminar bertema ‘Etika Tontonan Edukatif dalam Kesenian’ digelar di Kampus Unhi Denpasar, Sabtu (27/4).
Pemerhati kebudayaan Prof Dr Nengah Bawa Atmaja mengatakan, perdebatan soal etika di ranah berkesenian bukan barang baru dan dapat dirunut hingga zaman Yunani kuno. Sebagian yakin seni ada sebagai garda moralitas. Di sisi lain yakin bahwa seni seharusnya mengabdi hanya kepada seni itu sendiri. Belakangan ada upaya mencari titik tengah di antara keduanya.
“Ini persoalannya (joged erotis) tidak segampang seperti apa yang kita pikirkan bersama, rumit sekali,” ujar Pof Bawa.
Mantan guru besar Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) mengajak publik untuk mempertanyakan kenapa penari joged melakukan gerakan erotis mengarah pornoaksi. Menurutnya, hal itu juga tidak terlepas dari permintaan penonton, dalam hal ini penonton laki-laki.
“Saya kasihan sebenarnya dengan penari joged (porno), korban dia,” kata antropolog ini.
“Dia menjadi korban laki-laki yang ingin melampiaskan kekuasaannya kepada wanita, itu sebenarnya,” tambahnya.
Prof Bawa melakukan penelitian mengenai fenomena joged erotis hingga pelosok Desa Songan, Kintamani. Ia mendapati tindakan erotis yang dilakukan penari joged tidaklah sesederhana yang dipikirkan banyak pihak.
Satu pengibing laki-laki mengaku merasa tertantang melakukan gerakan pornoaksi lantaran merasa ‘ditantang’ oleh penari joged. Prof Bawa juga melihat sisi menarik, bahwa penari joged ingin membalikkan struktur patriarki yang menjeratnya.
“Di luar panggung dia tidak bisa mempermainkan laki-laki, justru di atas panggung dia bisa mempermainkan laki-laki,” ungkapnya.
Untuk itu, Prof Bawa menyimpulkan bahwa untuk menekan aksi joged erotis tidak lain adalah dengan memahami aspirasi dari para penari joged erotis itu sendiri. Menurutnya selama ini kita lebih sering mendengarkan diri sendiri ketimbang penari joged itu sendiri sehingga permasalahan ini timbul tenggelam.
“Apa yang harus kita lakukan merekalah yang paling tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan untuk memecahkan persoalan ini.
Sehingga nanti ada pertemuan antara apa yang kita inginkan dengan apa yang mereka inginkan,” kata Prof Bawa sembari juga mengajukan sebuah penelitian lintas disiplin.
Lebih dari itu, Prof Bawa mengajak insan pendidikan untuk ikut memikirkan fenomena joged jaruh ini. Insan yang menjunjung etika harus dimulai sejak belia, dari bangku sekolah. Secara spesifik ia mengusulkan seni tontonan seperti film pendek sebagai wahana sosialiasi etika.
“Sudah tiba saatnya misalnya dengan membuat film-film pendek yang membicarakan tema khusus tentang budaya Bali yang dapat dipakai sebagai bahan diskusi oleh siswa,” kata Prof Bawa.
Seniman Komang Dedi Diana alias Dedi Topel anggota grup lawak Bali, Clekontong Mas, juga melihat fenomena viral joged erotis belakangan ini sebagai sesuatu yang kompleks. “Ada pelaku seni, ada yang merekam, ada yang menyebarkan, ada penikmat, siapa yang salah?” pantiknya.
Dedi menuturkan dunia seni era sekarang turut dikendalikan ideologi pasar. Siapa yang memegang modal ekonomi dia yang mengendalikan bentuk pementasan. Menurutnya dewasa semakin sulit melihat tontonan yang memberikan tuntunan, seperti lazim di masa lalu.
Perkembangan joged pada akhirnya keluar jauh dari pakem awal. Bahkan ada yang mengundang pentas joged sampai ke dalam kamar tidur. “Inilah yang kemudian bisa menyampingkan tatanan etika, estetika, dan logika demi kepuasan oknum itu sendiri,” ujarnya.
Senada dengan Prof Bawa, Dedi mengajak masyarakat melihat fenomena joged jaruh dari sisi para senimannya. Dari penelusurannya, ada penari joged erotis yang telah bercerai dan harus menghidupi empat orang anaknya. “Memang tiyang kotor, tapi tiyang menghidupi anak,” ujar Dedi menirukan perkataan penari joged erotis yang ditemuinya.
Untuk itu, Dedi mengajak para pihak untuk bersama-sama tidak hanya menghujat namun juga memberi solusi terhadap permasalahan yang dihadapi seniman. Permasalahan ini, tambahnya, harus segera diatasi, mengingat joged juga telah diakui sebagai warisan budaya tak benda dunia. “Ini tanggung jawab kita bersama,” tandasnya.
Sementara itu, Dirjen Bimas Hindu Prof Dr I Nengah Duija dalam kesempatan itu memaparkan hakikat seni. Ia mengingatkan bahwa seni bukanlah tiruan dari kehidupan, melainkan penggambaran bagaimana kehidupan sebaiknya dijalani.
Ia mempersoalkan soal etika, baik dan buruk, yang menurutnya secara filosofis cukup banyak versinya. Perbedaan tersebut kemudian berdampak pada perbedaan pandangan mengenai apa yang baik dan apa tidak baik.
Karena itu penari joged jaruh tidak sepenuhnya bisa disalahkan, apalagi jika mengedepankan paradigma seni ada untuk seni itu sendiri. Joged jaruh disebutnya juga dapat dilihat sebagai bentuk kritik seni terhadap masyarakat kekinian yang lebih dikendalikan ideologi pasar.
“Ini ada joged jaruh ini sebenarnya menyindir siapa?” kata guru besar UHN I Gusti Bagus Sugriwa.7a
Komentar