Batu untuk Pondasi-Lingga Yoni Diambil dari Tiga Gunung di Jawa dan Bali
Civitas Akademika UGM Jogjakarta yang Beragama Hindu Kini Memiliki Pura Sanatanagama (2-Habis)
Civitas akademika UGM yang beragama Hindu baik dosen maupun karyawan berjumlah sekitar 40 orang, sedangkan mahasiswa Hindu sekitar 300-an orang.
JOGJAKARTA, NusaBali - Di balik megahnya bangunan Pura Sanatanagama yang berada dalam kompleks fasilitas kerohanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta, ternyata menyimpan banyak cerita dalam proses pembangunannya. Menurut Ketua Panitia Pembangunan Pura Sanatanagama UGM, Prof Dr drh Wayan Tunas Artama salah satu yang menarik adalah saat mencari bahan untuk membangun candi dan kawasan pura.
Panitia pembangunan pura terlebih dahulu mencari petunjuk sekala dan niskala. Kata Prof Tunas, berdasarkan petunjuk dari rohaniawan atau Ida Sulinggih, untuk membangun pondasi, diminta menggunakan batu dari Gunung Slamet yang merupakan gunung tertinggi di Jawa Tengah. Panitia pun berangkat mencari batu itu ke Gunung Slamet.
"Kami ke sana (Gunung Slamet), Ida Sulinggih pun ikut. Di sana kami mendapat batu yang mengkilat sekali seperti cincin. Semua atas kehendak Yang Di Atas (ida Sanghyang Widhi wasa). Begitu sampai di sana, kami langsung naik dan mendapatkan batu itu. Jadi banyak hal sekala dan niskala yang memang kami konsultasikan, sehingga terwujudlah pura ini," ungkap lulusan S3 Institut fur Veterinar Biochemie, Freie Universitaet Berlin, Jerman ini.
Tidak hanya itu, untuk bangunan lingga yoni juga menggunakan bahan dari dua gunung yang ada di Jogjakarta dan Bali. Untuk yang di Jogjakarta diambil dari Gunung Merapi, dan dari Bali diambil dari Gunung Agung. "Dalam pembangunan ini kami intens konsultasi secara sekala dan niskala. Termasuk untuk bangunan lingga yoni, kami pakai batu yang berasal dari Gunung Merapi dan Gunung Agung, dipadukan jadi lingga yoni. Jadi untuk lingga yoni diambilkan dari dua gunung yang berada di Jogjakarta dan Bali," bebernya.
Setelah melalui berbagai konsultasi sekala dan niskala serta perjuangan dalam mencari punia pendanaan, kawasan Pura Sanatanagama rampung dikerjakan dalam waktu lima bulan. Terkait pemberian nama Pura Sanatanagama, kata Prof Tunas, juga melalui proses meminta petunjuk dari rohaniawan. Sebelumnya, ada beberapa nama yang disodorkan seperti Pura Penataran Gadjah Mada, Pura Penataran Agung, dan yang lainnya. Namun dari sekian pilihan, disepakati menggunakan nama Sanatanagama karena dinilai lebih universal dan mengandung unsur nama Gadjah Mada (Gama).
Pamedek lakukan persembahyangan di Pura Sanatagama UGM. –AGUNG INDIANI
"Pura ini harus memiliki nama yang ada unsur Gadjah Mada dan supaya bisa mewakili semuanya. Kami memohon petunjuk kepada beberapa sulinggih untuk memberikan nama dan filosofinya. Di samping itu, kami panitia dengan Kagama Bali juga mendesain kira-kira nama yang cocok pura apa. Dari beberapa nama itu, yang dipilih paling cocok adalah Sanatanagama. Sanatana artinya kekal abadi, sedangkan Gama adalah singkatan Gadjah Mada," papar Prof Tunas.
Lebih lanjut dijelaskan, setelah pura rampung, pada akhir Oktober 2023 dilakukan melaspas kecil agar bisa dipakai untuk tempat ibadah. Bahkan banyak civitas akademika yang memanfaatkan pura tersebut untuk bersembahyang dan menenangkan diri. Baru kemudian, setelah menentukan hari baik, dilaksanakan upacara Melaspas, Mecaru, Mendem Pedagingan, Ngenteg Linggih dan Pujawali untuk mensthanakan Tuhan Yang Maha Esa pada Purnama Sasih Jiyestha yang bertepatan dengan Anggara Kliwon (Anggarakasih) Tambir, Selasa (23/4). "Pada Purnama Jiyestha ini sekaligus akan menjadi tegak piodalan di Pura Sanatanagama selanjutnya. Untuk persembahyangan rutin di Pura Sanatanagama, kami fokuskan sepeti Purnama, Tilem, dan Saraswati. Kalau seperti Galungan dan Kuningan itu sembahyang sendiri-sendiri. Mengingat masing-masing dari kami juga jadi pengempon di pura lainnya," kataya.
Saat Upacara Melaspas, Mecaru, Mendem Pedagingan, Ngenteg Linggih dan Pujawali pada Purnama Sasih Jiyestha yang bertepatan dengan Anggara Kliwon (Anggarakasih) Tambir, Selasa (23/4) lalu juga dilaksanakan prosesi mewinten kepada beberapa civitas akademika yang menjadi pangempon pura. Adapun yang ditunjuk sebagai Ketua Pangempon Pura Sanatanagama, yakni Prof Ir Sang Kompiang Wirawan ST MT PhD.
Terkait jumlah pengempon pura, Kompiang Wirawan menjelaskan, bahwa civitas akademika UGM yang beragama Hindu baik dosen maupun karyawan berjumlah sekitar 40 orang. Sedangkan mahasiswa Hindu sekitar 300-an orang. Sedangkan pamangku yang ada di pura berasal dari Jawa dan Bali. Dosen Fakultas Teknik UGM ini menegaskan, pura ini konsepnya terbuka untuk umat Hindu dari mana saja untuk sembahyang. Tentunya umat yang ingin bersembahyang tetap berpakaian sopan dan menjaga etika masuk pura pada umumnya.
"Dengan adanya pura ini, mahasiswa yang beragama Hindu minimal punya alternatif tempat sembahyang yang dekat dengan kampus, dan juga bisa lebih fleksibel waktunya. Sering mahasiswa pagi-pagi sebelum ke kampus, sembahyang dulu ke sini. Justru di malam hari ada juga mahasiswa yang sembahyang sambil mengerjakan tugas-tugas," jelasnya. 7 ind
Komentar