MDA Bali: Bendesa Diangkat Krama, Tidak Terima Gaji
DENPASAR, NusaBali.com - I Ketut Riana (KR), Bendesa Adat Berawa, Desa Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara, Badung resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan dan pungutan liar (pungli) pasca Operasi Tangkap Tangan (OTT) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali di salah satu restoran di Jalan Raya Puputan Denpasar.
Pasca OTT yang melibatkan pengusaha/investor nasional dan Bendesa Adat Berawa pada Kamis (2/5/2024) itu, KR selaku Bendesa Adat Berawa dijerat Pasal 12 Huruf e UU Tipikor Jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Menariknya, muncul frasa 'pengawai negeri atau penyelenggara negara' dalam pasal yang menjerat KR selaku Bendesa Adat Berawa. Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali menolak mengomentari langsung penafsiran penegak hukum terkait pengenaan pasal dan lain-lain atas kasus yang tengah berproses.
Namun, MDA Bali bersedia menerangkan kedudukan bendesa di lembaga adatnya yakni desa adat. Kata Bendesa Agung MDA Bali Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet, bendesa diangkat melalui paruman desa adat.
"Bendesa diangkat melalui paruman. Kami (MDA) pun tidak mengangkat, hanya mengukuhkan saja. Bendesa memang menerima insentif (dari pemerintah), bukan gaji," jelas Putra Sukahet ditemui usai rapat bersama unsur harian di Gedung MDA Provinsi Bali, Jalan Cok Agung Tresna, Niti Mandala, Sabtu (4/5/2024).
Putra Sukahet enggan berkomentar terlalu jauh terhadap kasus yang masih berproses. Ia meyakini, penegak hukum akan bertindak profesional terhadap kasus yang ditangani.
"Yang jelas, (bendesa) tidak diangkat oleh Gubernur, Bupati, oleh Bendesa Agung. Mereka diangkat oleh masyarakat atau kramanya di situ dan tidak menerima gaji. Soal itu pejabat publik dan sebagainya, kami tidak berkomentar sejauh itu," imbuh Putra Sukahet.
Namun, kata Putra Sukahet, potensi bendesa sebagai pegawai negeri, penyelenggara negara, atau pejabat publik bisa saja terjadi. Misalkan, jika bendesa itu merangkap jabatan dan profesi di pemerintahan dan instansi di bawah pemerintahan.
Di luar daripada itu, MDA Bali menegaskan, tidak bakal memberikan pendampingan hukum kepada KR. Sebab, kasus ini bersifat personal dan tidak menyeret lembaga adat. Kalau pun desa adat terseret, MDA Bali menegaskan tidak berperan sebagai pembela melainkan memastikan kebenaran diutarakan.
Sebelumnya, diberitakan NusaBali edisi cetak Sabtu, 4 Mei 2024, Gede Pasek Suardika (GPS) selaku penasihat hukum KR, sempat mempertanyakan apakah kasus melibatkan bendesa ini masuk pidana khusus atau umum. Dan, apakah seorang bendesa sebenarnya menerima upah atau gaji dari pemerintah.
Dua hal ini, dijelaskan GPS, sangat berpengaruh terhadap pengananan hukum yang tepat. Di samping itu, desa adat di Bali, disebut GPS, bersifat sebagai daerah otonom. *rat
Bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Menariknya, muncul frasa 'pengawai negeri atau penyelenggara negara' dalam pasal yang menjerat KR selaku Bendesa Adat Berawa. Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali menolak mengomentari langsung penafsiran penegak hukum terkait pengenaan pasal dan lain-lain atas kasus yang tengah berproses.
Namun, MDA Bali bersedia menerangkan kedudukan bendesa di lembaga adatnya yakni desa adat. Kata Bendesa Agung MDA Bali Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet, bendesa diangkat melalui paruman desa adat.
"Bendesa diangkat melalui paruman. Kami (MDA) pun tidak mengangkat, hanya mengukuhkan saja. Bendesa memang menerima insentif (dari pemerintah), bukan gaji," jelas Putra Sukahet ditemui usai rapat bersama unsur harian di Gedung MDA Provinsi Bali, Jalan Cok Agung Tresna, Niti Mandala, Sabtu (4/5/2024).
Putra Sukahet enggan berkomentar terlalu jauh terhadap kasus yang masih berproses. Ia meyakini, penegak hukum akan bertindak profesional terhadap kasus yang ditangani.
"Yang jelas, (bendesa) tidak diangkat oleh Gubernur, Bupati, oleh Bendesa Agung. Mereka diangkat oleh masyarakat atau kramanya di situ dan tidak menerima gaji. Soal itu pejabat publik dan sebagainya, kami tidak berkomentar sejauh itu," imbuh Putra Sukahet.
Namun, kata Putra Sukahet, potensi bendesa sebagai pegawai negeri, penyelenggara negara, atau pejabat publik bisa saja terjadi. Misalkan, jika bendesa itu merangkap jabatan dan profesi di pemerintahan dan instansi di bawah pemerintahan.
Di luar daripada itu, MDA Bali menegaskan, tidak bakal memberikan pendampingan hukum kepada KR. Sebab, kasus ini bersifat personal dan tidak menyeret lembaga adat. Kalau pun desa adat terseret, MDA Bali menegaskan tidak berperan sebagai pembela melainkan memastikan kebenaran diutarakan.
Sebelumnya, diberitakan NusaBali edisi cetak Sabtu, 4 Mei 2024, Gede Pasek Suardika (GPS) selaku penasihat hukum KR, sempat mempertanyakan apakah kasus melibatkan bendesa ini masuk pidana khusus atau umum. Dan, apakah seorang bendesa sebenarnya menerima upah atau gaji dari pemerintah.
Dua hal ini, dijelaskan GPS, sangat berpengaruh terhadap pengananan hukum yang tepat. Di samping itu, desa adat di Bali, disebut GPS, bersifat sebagai daerah otonom. *rat
1
Komentar