Teknologi Insinerasi Perlu Kajian Mendalam
Mesin insinerator yang berkapasitas raksasa, mulai tahap pembangunan hingga operasional memerlukan biaya yang sangat tinggi.
DENPASAR, NusaBali - Pemanfaatan teknologi insinerasi (pembakaran sampah) untuk menangani permasalahan sampah di TPA Suwung, Denpasar, memerlukan kajian mendalam. Selain biaya operasional tinggi, teknologi insinerator ini perlu diperhatikan dampak lingkungannya.
Hal itu diutarakan Direktur Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali Catur Yudha Hariani, menanggapi wacana penggunaan insinerator sebagai salah satu solusi mengatasi penumpukan sampah di TPA Suwung. “Harus ada kehati-hatian untuk menerima teknologi ini,” kata Catur kepada NusaBali, Jumat (10/5).
Dia mengingatkan, mesin insinerator, khususnya yang berkapasitas raksasa, bukanlah teknologi berbiaya murah. Mulai tahap pembangunan hingga operasional dipastikan akan menguras biaya yang sangat dalam. Catur mengungkapkan biaya pembangunan teknologi insinerasi mencapai Rp 3,3 miliar per ton sampah. Sementara biaya operasional hingga Rp 600.000 per ton sampah.
Untuk diketahui TPA Suwung setiap harinya kedatangan sekitar 1.000 ton sampah khususnya dari Kota Denpasar dan Kabupaten Badung.
Di samping itu, meskipun digadang-gadang menghasilkan hasil pembakaran yang semakin ramah lingkungan, namun sejumlah penelitian menunjukkan bahwa masih ada residu yang dihasilkan insinerator yang berpotensi membahayakan lingkungan dan kesehatan.
Kata Catur, insinerator dalam prosesnya dapat membuang emisi berupa dioksin, senyawa yang dikenal paling beracun. Pencemaran dioksin dapat menimbulkan penyakit kanker, permasalahan reproduksi dan perkembangan, kerusakan pada sistem imun dan mengganggu hormon.
Merkuri dan partikel halus adalah senyawa lainnya yang dibuang oleh insinerator ke udara. Paparan merkuri dapat berdampak buruk pada sistem saraf dan perkembangan otak anak. Partikel halus dapat menyebabkan terjadinya penurunan fungsi paru, kanker, serangan jantung, dan kematian dini.
Yang juga perlu diperhatikan, tambah Catur, adalah pengaruh jenis sampah terhadap jenis residu yang dihasilkan insinerator. “Jenis sampah yang kita miliki berbeda dengan masyarakat yang ada di Jepang, di Singapura,” jelasnya.
Sebelum menerapkan teknologi insinerasi, Catur mengajak pemerintah dan masyarakat untuk lebih memaksimalkan pengelolaan sampah berbasis sumber. Apalagi hal itu sudah diatur melalui Peraturan Gubernur Bali Nomor 47 Tahun 2019. Menurutnya masyarakat perlu terus diberikan sosialisasi mengenai pentingnya memilah sampah dari sumbernya untuk menekan penumpukan sampah di TPS3R ataupun TPA.
“Saya juga belajar dengan teman-teman yang ada di Jerman, di Belanda, mereka juga menggunakan insinerator tapi tetap mereka memilah sampah. Masyarakat kita nggak ada yang memilah sampah,” ucapnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Penjabat (Pj) Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya mengusulkan penggunaan sistem insinerasi sebagai solusi terbaru mengatasi permasalahan sampah di TPA Suwung yang tak kunjung usai.
“Sebenarnya selama ini sudah banyak pola-pola dilakukan untuk mengatasi permasalahan sampah di Bali. Namun ternyata itu belum cukup. Perlu pola lain, perlu solusi lain lagi untuk kita lakukan agar masalah ini bisa cepat terselesaikan. Kita sudah mengajukan untuk menggunakan insinerator, jika itu disetujui maka akan kita gunakan di TPA Suwung,” ujar Mahendra Jaya saat Rapat Pengelolaan Sampah di TPA Suwung, di Rumah Jabatan Gubernur Bali Jayasabha, Denpasar, Rabu (8/5).
Mahendra Jaya mengatakan, perlu komitmen bersama secara konkret, holistik, dan serentak dalam pengelolaan sampah dari hulu sampai ke hilir yang dimulai dengan mengolah dan memilah sampah dari sumbernya serta dukungan dari seluruh elemen masyarakat.
Mahendra Jaya menyampaikan berdasarkan data SIPSN Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, timbulan sampah di Provinsi Bali pada 2023 mencapai 3.367 ton per hari dan dengan persentase sampah terkelola mencapai 75,94 persen, di mana sebagian besar sampah masih diangkut ke TPA dengan persentase 61,41 persen. Fasilitas pengelolaan sampah berbasis sumber yang telah terbangun yakni 278 unit TPS3R yang tersebar di seluruh kabupaten/kota dan 7 unit TPST di empat kabupaten/kota.
“Namun pengelolaan sampah belum dapat dilaksanakan dengan optimal, dikarenakan belum terbangunnya kesadaran pemilahan sampah dari sumber sehingga membebani operasional fasilitas pengolahan sampah. Kunci keberhasilannya adalah adanya partisipasi aktif masyarakat dengan melakukan pengurangan timbulan sampah dan pemilahan sampah,” tandas Mahendra Jaya. 7 a
Komentar