Sampah Mengguyur Wajah Pulau Bali
Namun menjadi pelik karena upakara kini tidak murni terbuat dari bahan organik. Dulu, orang Bali pakai semat jadinya organik semua. Sekarang satu canang ada 15 staples. Staples itu residu, tidak bisa diolah.
DENPASAR, NusaBali - Maret 2024, loloan (muara sungai) di kawasan Pantai Dreamland di Desa Pecatu, Kuta Selatan, tampak mengerikan. Lolan ini dipenuhi dengan sampah kiriman hingga panjang beratus-ratus meter. Tumpukan sampah berupa plastik maupun kayu menjadi pemandangan rutin setiap musim hujan. Padahal ini salah satu kawasan pantai padat turis.
Pemandangan serupa juga banyak dijumpai di muara-muara sungai tidak hanya di wilayah perkotaan tapi juga di wilayah perdesaan di Bali. Sampah-sampah tersebut kemungkinan besar berasal dari sampah-sampah yang dibuang di sempadan sungai dan terbawa oleh aliran air sungai yang meluap karena hujan deras. Selain itu sampah-sampah tersebut tidak jarang juga berasal dari limbah yang dibuang dengan sengaja ke aliran sungai.
Sampah menggenangi loloan di kawasan Pantai Dreamland, Desa Pecatu, Kuta Selatan, pada bulan Maret lalu. - NUSA BALI
Penyelenggaraan World Water Forum (WWF) ke-10 di Bali, 18-25 Mei 2024, yang membahas segala permasalahan terkait sumber daya air di dunia, menjadi momentum melihat kembali kesadaran kita memaknai air. Ketua IATPI (Ikatan Alumni Teknik Penyehatan dan Teknik Lingkungan Indonesia) Bali Dr Ir Ar Ngakan Ketut Acwin Dwijendra mengatakan, masalah sampah jadi salah satu tantangan yang paling besar di Bali saat ini. Kesadaran masyarakat disebut masih rendah dalam mengelola sampah dengan baik.
"Kata orang persoalan sampah tidak pernah ada ujungnya. Sudah siaga satu," sebut akademisi Fakultas Teknik Universitas Udayana ini, Jumat (17/5).
IATPI Bali secara rutin melakukan kampanye dan penelitian di bidang lingkungan, termasuk sampah. Dari pengamatannya selama ini, ada fakta menarik yang diungkap Acwin. Menurutnya kesadaran pengelolaan sampah di Bali ternyata tidak sejalan dengan tingkat pendidikan maupun status ekonomi. Masih banyak sekali warga dengan pendidikan paling tinggi sekalipun masih gagap mengelola sampah di rumah tangganya sendiri.
Menurut akademisi asal Desa Tamanbali, Kecamatan Bangli, Bangli, ini kebiasaan membuang sampah di teba (lahan kosong di belakang rumah), khususnya di wilayah perdesaan, menjadi salah satu penyebab masih banyaknya sampah yang mengalir ke laut. Pasalnya teba umumnya berada dekat dengan sempadan sungai. Tradisi 'ngayut' (melarung) di Bali juga menurut Acwin telah disalahpahami oleh sebagian masyarakat Bali dengan secara mudah membuang sampah ke sungai hingga bermuara ke laut.
"Pengalaman saya belajar di Belanda dan Australia, sampah yang hanyut ke laut pada akhirnya akan kembali ke kita juga," ingat Acwin yang menempuh pendidikan pascasarjana di dua negara tersebut.
Meski masih sangat jauh membandingkan kesadaran masyarakat Bali dengan masyarakat di negara maju seperti Belanda, Australia, atau Jepang misalnya, kampanye pengelolaan sampah yang baik harus terus dilakukan oleh berbagai pihak. Dia mengajak masyarakat untuk melihat sampah sebagai hal yang seharusnya tidak dihindari melainkan dilihat sebagai potensi.
Alih-alih membuang sampah sembarangan di teba, Acwin mengajak masyarakat mengelola sampah, khususnya sampah organik dengan sistem komposting. Sampah organik diolah menjadi pupuk kompos dengan menanamnya di bawah tanah dalam jangka waktu tertentu. Menurutnya hal ini juga bisa diterapkan di lahan sempit sekalipun, seperti di wilayah pemukiman di perkotaan.
Meski demikian, kesadaran warga membuat sistem komposting di rumah, diakuinya juga masih rendah. Bahkan di kalangan ekonomi mapan. Acwin yang merupakan seorang arsitek menceritakan para kliennya yang tidak antusias dengan desain rumah yang dilengkapi dengan sistem komposting. "Ini biayanya berapa pak, mahal ya,’’ ujarnya menirukan tanggapan salah satu klien.
Ketua PAPTI (Perkumpulan Ahli Pengkaji Teknis Indonesia) Bali ini menegaskan bisnis itu mengalahkan pemikiran tentang lingkungan. Padahal, menurut Acwin, komposting merupakan salah satu jurus jitu mengatasi permasalahan sampah di Bali. Hal itu dikarenakan sampah organik merupakan jenis sampah yang mendominasi sampah di Bali. Dengan mengolah sampah organik di rumah masing-masing maka dapat mengurangi jumlah sampah yang menuju ke TPA yang sudah semakin penuh.
Acwin mengungkapkan, total produksi sampah di Bali kini mencapai 4.281 ton per harinya. Jumlah tersebut dominan 59 persen dihasilkan di kawasan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita). Sementara kapasitas TPA Suwung yang melayani kawasan perkotaan di selatan Bali hanya mampu menampung 1.100 ton per hari. "Ya, karena sudah komposting di rumah, yang kita bawa ke TPA yang residu (tidak dapat didaur ulang) saja," ujarnya.
Lagi-lagi kesadaran memilah sampah masih menjadi pekerjaan rumah bagi siapa pun di Bali. Masih banyaknya sampah yang ditolak di TPA Temesi, Gianyar. Karena belum dipilah berdasarkan permintaan pemerintah daerah, sedikit banyak menjadi bukti hal tersebut. Diketahui, Pemerintah Kabupaten Gianyar mulai menerapkan kebijakan pemilahan sampah berbasis sumber (dari rumah) mulai bulan Mei ini untuk mengatasi persoalan sampah di wilayahnya.
Menarik karena Acwin mengungkap salah satu sumber sampah di Bali adalah sampah sisa upakara, semisal canang sari. ‘’Namun menjadi pelik karena upakara kini tidak murni terbuat dari bahan organik. Dulu, orang Bali pakai semat jadinya organik semua. Sekarang satu canang ada 15 staples. Staples itu residu, tidak bisa diolah," kata dia.
Pembangunan teknologi insenerasi yang membakar habis berbagai jenis sampah, menurut Acwin, harus menjadi pilihan terakhir mengatasi masalah sampah di Bali. Pengelolaan sampah dengan pemilahan, komposting, dan daur ulang, masih lebih tepat dilakukan di Bali karena sejalan dengan prinsip keberlanjutan. Dalam hal ini sampah bisa diberdayagunakan sebagai sumber ekonomi.
Acwin menilai diperlukan kesadaran baru melihat sampah sebagai potensi yang bisa dikembangkan. Menurutnya sampah kini seolah-olah menjadi satu hal yang harus dihindari sehingga harus dibuang jauh-jauh. Penolakan terhadap keberadaan sampah terlihat dari respons masyarakat saat adanya rencana membangun tempat pengolahan sampah (TPS3R) di wilayahnya.
"Setiap hari ada generasi yang lahir untuk diedukasi dan masih ada orang yang sebelumnya sadar tapi kembali lagi," kata Acwin.7a
Komentar