nusabali

MUTIARA WEDA: Ekādaśī dan Bhakti

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-ekadasi-dan-bhakti

rātrau jāgaraṇaṃ kṛtvai-kādaśī-vrata-kṛn naraḥ na paśyati yamaṃ raudraṃ yuktaḥ pāpa-śatair api. (Garga Samhita, 4.8.39)

Meskipun terkontaminasi ratusan dosa, seseorang yang berjaga di malam hari sambil mengikuti brata ekādaśī, dia tidak akan pernah melihat Yamarāja marah.

Ekādaśī, hari kesebelas setelah bulan purnama. Pada hari ini, kitab suci menganjurkan puasa biji-bijian, kacang-kacangan sehingga sādhaka dapat membenamkan diri sepenuhnya dalam bhakti. Ekādaśī disebut sebagai ibunya pengabdian. Mereka yang melaksanakan Ekādaśī harus menjalani pola makan tidak makan daging dan menghindari seks pada hari Daśamī, hari sebelum Ekādaśī. Periode gabungan Ekādaśī dan Dvādaśī (hari kedua belas) disebut Harivāsara, kehadiran Viṣṇu pada saat itu. Itu adalah saat yang tepat untuk melakukan yajña suci. Hari Ekādaśī dan Dvādasī sangat baik untuk yajña. 

Diceritakan bahwa Raja Ambarīṣa menjalankan Ekādaśī ketat. Dia pergi ke Madhuvana di Mathura untuk melaksanakan brata ini dan akan buka puasa pada hari ke–12. Beberapa saat sebelum buka puasa, Durvāsā Ṛṣi (orang suci yang pemarah) datang. Sang raja memberikan hormat dan akan menyuguhkan makanan pada saat buka puasa. Sambil menunggu, Durvāsā Ṛṣi pergi ke Sungai Yamuna untuk mandi. Namun, beliau larut dalam meditasi. Saat mau buka, Durvāsā Ṛṣi belum datang. Sang raja tahu kalau menghormati brahmana adalah sebuah keharusan, tetapi buka puasa di waktu yang tepat juga mutlak diikuti. Akhirnya, sang raja meminum air basuhan murti Deva. Durvāsā Ṛṣi melihat hal ini dalam meditasinya dan datang dengan sangat marah menyatakan Raja tidak tahu menghormati seorang brahmana. 

Kemudian Durvāsā Ṛṣi mengutuk, mencabut rambut dari pusungannya, menghadirkan raksasa Kṛtyā untuk membunuh raja. Raksasa itu pun menyerang. Sang raja tenang dan menengadahkan telapak tangannya. Tiba-tiba, sebelum raksasa itu menyentuh sang raja, Sudarśana-cakra tiba-tiba menebas leher raksasa hingga mati. Setelah terbunuh, Sudarśana-cakra itu pun mengarah ke Durvāsā Ṛṣi. Untuk menyelamatkan diri, dia lari ke sana kemari, ke Brahmaloka, Sivaloka, dan Vishnuloka, dan pelosok loka lainnya. Di Vishnuloka, setelah melewati percakapan panjang, Vishnu pun dengan marah mengatakan bahwa Durvāsā Ṛṣi tidak tahu apa-apa tentang isi kitab suci. Vishnu menyatakan bahwa meminum caraṇāmṛta (air basuhan kaki murti), tidaklah menyalahi aturan, jadi keduanya dihormati, baik buka puasa maupun menghormati brahmana. Karena ini adalah kesalahan Durvāsā Ṛṣi kepada bhakta, maka Deva pun itu tidak bisa menghentikan cakra itu, hanya Raja Ambarīṣa yang bisa.
 
Akhirnya Durvāsā Ṛṣi kembali ke kerajaan, sang raja pun menyuguhkan makanan dan raja pun buka puasa bersama. Durvāsā Ṛṣi berpikir bahwa meskipun dinyatakan sebagai brahmana tinggi, dirinya tidak bisa selamat dari cakra sudarsana. Ini artinya brata Ekādaśī sangat luar biasa, siapapun yang taat, dia akan mendapat perlindungan penuh dari Tuhan. Atas dasar inilah, brata Ekādaśī dipraktikkan terutama oleh pengikut Vaishnava. Bagaimana kita bisa memaknai praktik ini dalam konteks kekinian? Bagaimana menghubungkan cerita simalakama Durvāsā Ṛṣi dan brata Ekādaśī ini terhadap konteks kekinian? 

Mungkin kita bisa melihatnya begini! Ketika kita intens dan total dalam sadhana, sekuat apapun tendensi negatif diri tidak akan berdaya. Durvāsā Ṛṣi yang pemarah dalam konteks ini bisa diibaratkan dengan tendensi kompulsif diri yang menghalangi kita maju dalam kehidupan spiritual. Memang, Klesa, mala, dan hal buruk lainnya sangat kuat dan berkuasa di dalam diri. Seperti misalnya, saat kita mencoba memerintahkan pikiran agar diam beberapa saat ketika duduk hening, pikiran tidak akan mengikuti perintah itu dan tetap berkeliaran. Pikiran seolah-olah punya pattern-nya sendiri yang sulit dibelokkan. 

Di sini, brata Ekādaśī, yang merupakan salah satu bentuk sadhana spiritual akan mampu menaklukkan arus tendensi yang kuat tersebut. Totalitas itulah yang mampu menundukkan semua tendensi penghambat ini. Dari cerita di atas dapat disarikan bahwa Raja Ambarīṣa ibaratnya kita sebagai sadhaka, brata Ekādaśī adalah sadhana spiritual, dan Durvāsā Ṛṣi adalah tendensi negatif diri (penghalang) yang tiba-tiba hadir. 7

I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta

Komentar