Gamelan, Pradakshina dan Nasi Yasa, Akulturasi Tri Suci Waisak di Bali
SINGARAJA, (ANTARA); - Alunan merdu gamelan Bali mengiringi perjalanan menuju altar. Umat beramai-ramai mencari tempat duduk nyaman yang telah disediakan. Turis mancanegara pun memenuhi tempat duduk sekitaran altar.
Pradaksina dan Akulturasi Buddha di Bali
Semerbak dupa memenuhi indra penciuman, alunan gamelan dan nyanyian rohani mendominasi. Upacara pradaksina telah dimulai. Umat berbondong-bondong mengikuti arak-arakan stupa, patung Buddha, dan murid-murid Buddha, kemudian mengelilingi vihara sebanyak tiga kali searah jarum jam dengan memegang sarana persembahyangan seperti bunga dan dupa sembari membaca paritta (ayat dalam kitab suci). Pradaksina merupakan wujud pemujaan terhadap Sang Buddha, Dharma, dan Sangha yang merupakan ajaran dari Sang Buddha.
Sarana yang digunakan dalam puja berupa pajengan merupakan sarana pelengkap, sedangkan sarana utama dalam puja terdiri dari dupa, bunga, lilin dan air suci. Bunga merupakan simbol ketidak-kekalan, lilin simbol penerangan, dupa simbol harumnya dharma, dan air sebagai simbol kesucian.
Pradaksina menjadi bentuk akulturasi budaya dengan agama Hindu berupa pembersihan terhadap area suci vihara sebelum dilaksanakan persembahyangan.
Akulturasi budaya nya juga terlihat dari penggunaan pakaian adat Bali (kebaya Bali) saat melakukan pradaksina, serta adanya doa-doa agama Hindu yang dibacakan bersama mantra Buddha. Selain itu, tari sekar jagat juga mengiringi hiburan selama perayaan Tri Suci Waisak dan menjadi salah satu bentuk akulturasi yang terus dijaga dengan baik. Setelah Pradaksina, upacara dilanjutkan dengan pembacaan Kitab Suci Damapada, puja, meditasi dan pembagian nasi yasa.
Komentar