Meretas Visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali
Ekonomi Kerthi Bukan Skema Jargon
Nangun Sat Kerthi Loka Bali
Ekonomi Kerthi
The Island of Gods (Pulau Dewata)
The Island of Thousand Temples (Pulau Seribu Pura)
The Morning of the World (Mentari Pagi di Pulau Bali)
The Paradise Island (Pulau Surga)
The Last Paradise (Surga Terakhir di Bumi)
The Island of Love (Pulau Cinta)
Wayan Koster
Hampir empat setengah dekade masyarakat dunia, bahkan pemimpin dunia selalu memberi sebutan untuk Bali yaitu: The Island of Gods (Pulau Dewata), The Island of Thousand Temples (Pulau Seribu Pura), The Morning of the World (Mentari Pagi di Pulau Bali atau Paginya Dunia), The Paradise Island (Pulau Surga), The Last Paradise (Surga Terakhir di Bumi), dan The Island of Love (Pulau Cinta).
Menariknya, ekonomi kerthi Bali menjadikan budaya sebagai prinsip utama dikarenakan tidak terlepas dari sistem nilai dalam kebudayaannya. Bali terkenal dengan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang dimiliki sejak zaman dahulu dan masih lestari diterapkan saat ini. Budaya yang menyatu dengan alam dijadikan sistem nilai dalam aktifitas, termasuk juga aktifitas ekonomi.
Guru Besar Faklutas Ekonomi Universitas Udayana, Prof Dr. I Ketut Rahyuda menilai, Ekonomi Kerthi Bali yang merupakan ide besar Gubernur Wayan Koster 2018-2023, memiliki konsep yang lebih menyatu pada alam.
Alam dan lingkungan bukan dipandang sebagai obyek terpisah melainkan menjadi satu dengan kehidupan manusia. Menurut mantan Dekan Fakultas Ekonomi Unud ini, paradigma ini tidak terlepas dari nilai-nilai kearifan yang telah dipercayai oleh masyarakat Bali. Ekonomi Kerthi Bali yang dilandasi oleh filosofi Sad Kerthi tidak dapat terlepas dari konteks kepercayaan masyarakatnya. Konsep ini terlihat pada istilah sekala-niskala. Secara sekala ekonomi dipahami sebagai praktik pertukaran barang dan jasa untuk mencari keuntungan duniawi.
Namun itu saja tidak cukup, biasanya orang Bali akan melaksanakan praktik niskala juga untuk mendukung praktik ekonomi tersebut. Karena mereka meyakini, rejeki tidak hanya hasil dari bekerja secara fisik, namun pemberian Tuhan. ‘’Di sini ekonomi tidak hanya dipahami sebagai aktivitas mencari keuntungan secara materiil (sekala), tetapi juga secara non materiil (niskala). Orang Bali akan selalu mempersembahkan hasil kerjanya kepada sang pemberi hidup,’’ ujar Prof Rahyuda.
Rektor Institut Bisnis dan Teknologi Indonesia (INSTIKI) Denpasar Dr. I Dewa Made Krishna Muku, S.T.,M.T. saat pak Koster memberikan kuliah umum, mengapresiasi segala kerja keras Pak Koster dengan berbagai legacy yang telah dibuat saat mengemban amanah rakyat sebagai Gubernur. Menurut Dewa Krishna banyak prestasi yang telah ditorehkan pak Koster, lebih khusus soal kebahagiaan orang Bali meliputi aspek sekala niskala ini.
Kebahagiaan tidak hanya dipahami sebagai pemenuhan kebutuhan hidup secara duniawi, melainkan juga pemenuhan kebutuhan spiritual atau rohani. Maka dari itu ujung dari aktivitas ekonomi tidak hanya Laba (keuntungan materiil) tetapi juga Labda (keberhasilan, terselesaikan dengan baik).
Kebahagiaan bagi orang Bali adalah selesainya semua kewajiban duniawi dan rohani dalam kehidupan sehari-hari. Kewajiban duniawi meliputi pemenuhan kebutuhan riil keluarga dan masyarakat, sementara kewajiban rohani yakni terselenggaranya berbagai aktivitas keagamaan (Panca Kerta) dengan baik, baik di level keluarga dan masyarakat di Desa Adat.
Jika dua kewajiban duniawi (sekala) dan rohani (niskala) sudah terwujud, maka bisa disebut dengan Labda Karya—tuntasnya seluruh kegiatan dan kewajiban sebagai orang Bali. Ini adalah dimensi kultural dan religius dari paradigma Ekonomi Kerthi Bali yang dibangun fondasinya oleh pak Koster.
Dalam perbincangan dengan penulis, Pak Koster kembali mereview gagasan besar Ekonomi Kerthi Bali yang telah dijalankan sesuai dengan Visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali, bukan sekedar skema jargon belaka, tetapi gagasan tersebut diakui Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional atau Kepala Bappenas RI, Suharso Monoarfa. Bahkan Program tersebut diberi nama Peta Jalan Ekonomi Kerthi Bali menuju Bali Era Baru: Hijau, Tangguh dan Sejahtera.
Komentar