Dirintis Pelajar Buddhis, Terdapat Altar Tapak Kaki Buddha
Vihara Asoka Arama yang Menganut Aliran Theravada di Bantaran Tukad Mati Denpasar
Meskipun beraliran Theravada yang menjaga kemurnian ajaran sesuai Dhamma, namun semua umat Buddha disambut dengan tangan terbuka di wihara ini
DENPASAR, NusaBali - Di bantaran Tukad Mati yang melintasi Banjar Kerthasari, Desa Pemecutan Kaja, Denpasar berdiri sebuah wihara yang menganut aliran Theravada. Wihara ini awalnya dirintis oleh sekelompok siswa SMA di Denpasar yang beragama Buddha. Tempat suci umat Buddha yang berlokasi di Jalan Nuansa Indah Selatan I Nomor 18 ini bernama Vihara Asoka Arama. Usia wihara seluas 23 are ini sekitar 25 tahun, namun jejak sejarahnya sudah dimulai dari tahun 1983. Kala itu, pelajaran agama Buddha perdana dimulai untuk pelajar Buddhis di SMAN 1 Denpasar.
Ketua Karakasabha Vihara Asoka Arama, I Gede Yuda,58, menuturkan kelompok pelajar Buddhis ini lantas berlatih di sebuah cetiya (rumah ibadah pribadi) yang berlokasi di Jalan Setiaki Gang 2 Nomor 20, Denpasar.
Seiring waktu dan bergabungnya siswa Buddhis dari sekolah lain, cetiya ini berubah menjadi wihara. "Perubahan nama itu dilakukan oleh YM Bhikkhu Girirakkhito Mahathera. Sejak saat itu, kegiatan keagamaan mulai berkembang. Tahun 1991, para siswa itu membuat arisan guna membeli tanah untuk wihara," beber Yuda ketika ditemui di sela perayaan Tri Suci Waisak, Kamis (23/5) petang.
Salah satu dari penggagas pendirian wihara adalah Gede Brata, ayahanda dari Yuda sendiri. Lantas, tahun 1998, dana berhasil terkumpul untuk membeli tanah seluas tujuh are di tepi sungai Tukad Mati. Setahun berselang tepat pada hari Asadha, pembangunan fisik komponen inti wihara, yakni darmasala mulai dilakukan.
Batu besar yang menyimbolkan bekas tapak kaki Buddha di kawasan Vihara Asoka Arama. –NGURAH RATNADI
Kata Widhiana Kusuma,63, Ketua Pembangunan Vihara Asoka Arama kala itu, darmasala dibuat dengan konsep wantilan. Bentuk wantilan yang terbuka diadopsi lantaran selaras dengan filosofi wihara yang terbuka dan menerima siapa saja yang datang. "Wantilan itu kan terbuka, itu menjadi simbol bahwa kami terbuka kepada siapa saja," tutur Widhiana ketika ditemui terpisah di sela perayaan Tri Suci Waisak 2568 BE, Kamis petang.
Di samping darmasala yang mengadopsi bentuk wantilan, tumpang atap wantilan yang biasanya dua, dimodifikasi menjadi tumpang tiga. Ini menyimbolkan Tiratana, yakni Buddha, Dhamma, dan Sangha. Akulturasi lain dapat dilihat dari kori (pintu masuk) yang mengadopsi arsitektur Bali dan Mataram dengan stupa Candi Borobudur.
Tahun 2020 silam, tangga masuk darmasala ditambahkan patung naga bergaya Bali. Di tahun yang sama, patung Buddha dengan mudra Bhumisuparsa yang berstana di altar darmasala diganti dengan yang lebih besar. Patung Buddha dengan Dhyana mudra yang baru ini batunya didatangkan dari Mendut, Jawa Tengah.
"Patung Buddha yang mudranya Bhumisuparsa itu kami pindahkan ke altar di bawah pohon Bodhi yang benihnya kami bawa dari India," imbuh Yuda, Buddhis generasi kedua berdarah Bali-Tionghoa di keluarga Gede Brata ini. Kini Vihara Asoka Arama sudah lengkap dengan berbagai fasilitas wihara seperti kuti (tempat tinggal bhikkhu), bangunan urusan umum, dan sekolah minggu. Namun, yang membuat wihara ini berbeda dengan wihara lain di Denpasar adalah altar tapak kaki Buddha di tepi Tukad Mati.
Altar ini digunakan untuk puja bakti pada hari Kathina (Oktober-November), hari berdana kepada Bhikkhu Sangha. Pada hari Kathina, umat Buddha di Vihara Asoka Arama juga menggelar Siripada Puja, yakni penghormatan kepada tapak kaki sang Buddha dan pelepasan bunga dan lilin ke sungai. "Areal Siripada itu dibangun atas rekomendasi YM Bhikkhu Attakharo Thera. Jadi di areal itu ada batu besar yang menyimbolkan bekas tapak kaki Buddha. Saat Siripada, kami melaksanakan penghormatan dan melepas wadah berisi bunga dan lilin di tengahnya ke sungai," ujar Widhiana, mantan Ketua Pembangunan Vihara Asoka Arama.
Ditegaskan Yuda, tidak semua wihara melaksanakan Siripada dengan cara seperti ini lantaran tidak semua wihara berada di tepi sungai. Vihara Asoka Arama menjadi salah satunya selain Vihara Amurva Bhumi, Blahbatuh, Gianyar. "Akses ke tepi sungai di sini lebih mudah, tidak curam, kursi roda bisa masuk ke areal altar," ungkapnya. Ketua Karakasabha berpenampilan pelontos ini menjelaskan, Vihara Asoka Arama kini secara legal sepenuhnya dimiliki serta berada di bawah binaan Yayasan Sangha Theravada Indonesia (STI). Oleh karena itu, wihara ini menjadi milik umat dan bukan lagi personal/keluarga tertentu.
Meskipun wihara ini beraliran Theravada yang menjaga kemurnian ajaran sesuai Dhamma tanpa campuran budaya di luar tradisi sang Buddha, Yuda menegaskan semua umat Buddha disambut dengan tangan terbuka. Termasuk pula, individu-individu non Buddhis. "Wihara ini adalah tempat untuk berlatih sesuai dengan namanya yaitu Arama. Juga, seperti Raja Asoka yang berhenti berperang (membawa damai) setelah bertemu seorang bhikkhu. Nama wihara ini diberikan oleh YM Bhikkhu Thitaketuko Mahatera, tahun 1999 lalu," tandas Yuda. 7 ol1
Komentar