nusabali

Prajuru Desa Adat Batur Bereaksi

Viral, Tolak Taman Wisata di Kawasan Konservasi

  • www.nusabali.com-prajuru-desa-adat-batur-bereaksi

Walaupun lokasinya ada di wawidangan Desa Adat Batur. Namun secara adat maupun secara administrasi, warga yang tinggal di Kawasan itu tidak pernah tercatatkan.

BANGLI, NusaBali
Berbagai unggahan di media sosial tentang penolakan warga terhadap pembangunan taman wisata oleh PT Tanaya Pesona Batur (TPB) di kawasan konservasi Taman Wisata Alam Gunung Batur Bukit Payang (TWA GBBP) Kintamani, memancing reaksi prajuru Desa Adat Batur, Kecamatan Kintamani, Bangli. Karena viralnya penolakan itu dinilai telah menimbulkan keresahan khususnya bagi prajuru adat setempat. 

Penyarikan Desa Adat BaturGuru Wayan Asta mengatakan ada beberapa unggahan di media sosial yang membuat resah. Salah satu unggah tersebut dipublikasikan pada Oktober 2023 hingga Maret 2024. Unggahan itu memberi kesan telah atau sedang terjadi perampasan hak-hak masyarakat. 

Guru Asta menyampaikan, tidak benar telah terjadi perampasan hak hidup dan hak-hak lain seperti yang disampaikan di media sosial. Menurutnya hal itu agak berlebihan, mengingat lahan yang ditempati oknum masyarakat, berdasarkan peraturan yang berlaku adalah Kawasan Hutan Konservasi yang pengelolaannya diberikan kepada PT TPB. Lahan itu pula bukan merupakan milik pribadi.

"Kawasan atau tempat izin konsesi milik PT TPB yang dipersoalkan pada saat ini, memang benar kawasan tersebut adalah kawasan hutan konservasi. Kawasan berada di wawidangan Desa Adat Batur. Secara adminitratif masuk wilayah Desa Batur Tengah. Kawasan tersebut bukan merupakan hak milik pribadi oknum masyarakat. Sehingga jelas sekali bahwa masyarakat tidak memiliki hak secara keperdataan atas tanah itu," jelasnya, Minggu (26/5).

Lanjut Guru Asta, Desa Adat Batur yang asli dulunya berlokasi di kawasan Lembah, tepatnya di barat daya Gunung Batur dan tepi Danau Batur. Namun akibat meletusnya Gunung Batur pada 3 Agustus 1926, lokasi Desa Batur dan beberapa pura habis tertimbun lahar panas sehingga Desa Adat Batur rata dengan tanah. Oleh sebab itu, Desa Batur beserta beberapa puranya dipindahkan ke tempat yang baru di lokasi desa dan pura saat ini, disebut Kalanganyar. 

Lanjut dia, hal itu dipertegas dengan Raja Purana Pura Ulun Danu Batur 49a.1. Disebutkan 'Nghing wusampun Ginanti Parhyangan Ida Bhatara ring Tampurhyang nguni mangke hana mungguing Kalangayar apan nguni purwa telas dening karuganing parangan agni wetu saking madianing giri'. Artinya,  sesudah diganti Parhyangan Tampurhyang maka pura tersebut sekarang berada di Batur Kalangayar. 

"Karena itu pura yang dulu telah hancur semuanya karena lintasan lahar panas dari gunung Batur'," ungkapnya. Setelah masyarakat Batur pindah ke lokasi yang baru, berdasarkan keputusan Dewan Raja Nomor 28 sub B.c.3 dan 4 pada tanggal 29 Mei 1927, Kawasan Hutan di GBBP diusulkan Dewan Raja-Raja kepada pemerintah Hindia Belanda sebagai Kawasan Hutan. 

Kemudian pada tanggal 9 Agustus 1933 dilakukan pemancangan (pematokan) batas.  Lantas, ada tanggal 15 Desember 1933 dilakukan pengukuhan batas, kemudian disahkan oleh inspektur kehutanan pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 19 Maret 1934 berlokasi di Bogor. 

Menurut Guru Asta, pihak desa adat tidak mengetahui secara pasti siapa saja yang tinggal di lokasi tersebut. Walaupun lokasinya ada di wawidangan Desa Adat Batur. Namun secara adat maupun secara administrasi, warga yang tinggal di Kawasan itu tidak pernah tercatatkan. 

"Mereka-mereka yang tinggal itu berada di kawasan hutan. Memang wawidangan ada di Desa Adat Batur. Tetapi mereka tinggal di sana berapa lama, dan entah mereka dari mana asalnya. Kami tidak tahu persis. Sebab kewenangan ada di BKSDA," sambungnya. 

Kata Guna Asta, pihak desa adat memutuskan buka suara karena berita di media sosial tersebut hingga kini terus disebarkan. Sebelumnya pihak desa adat sudah sempat turun memberikan pemahaman pada warga sekitar. ‘’Terlepas dari mereka masyarakat mana, yang jelas mereka juga krama Bali. Kami pun sudah jelaskan mereka tidak akan diusir. Justru kehadiran PT ini memberi legalitas bagi mereka untuk tinggal, sesuai dengan masa kontrak yang diberikan pada PT TPB," sebutnya.

Terkait lahan garapan sepenuhnya diganti atau direlokasi ke tempat yang telah disepakati dan dibuat sedemikian bagus. Mulai dari pemerataan tanah, setelah diratakan diatasnya diisi tanah subur, irigasi, pipanisasi serta akses yang bagus untuk menunjang kinerja petani dalam beraktifitas. Tidak hanya itu, gubuk-gubuk warga yang terlanjur terbangun, juga akan direlokasi yang kemudian akan dibentuk sedemikian rupa berupa tempat UMKM. 

Atas keberadaan PT TPB, Desa Adat Batur menekankan bahwa desa secara tertulis telah membuat surat rekomendasi dan pernyataan dukungan. "Namun ada catatan yakni kesinambungan pembangunan, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pariwisata serta menyerap tenaga kerja Kintamani, khususnya warga Desa Batur. Sehingga secara tidak langsung akan membuat rantai kesejahtraan untuk masyarakat sekitar," tegasnya. 

Di sisi lain, meski PT ini ada izinnya, tapi tidak bisa sewenang-wenang membangun seluas yang dikuasai. Selain kepentingan untuk krama, keberadaan PT TPB juga melindungi keberadaan situs-situs Desa Adat Batur yang masuk dalam izin pengelolaan kawasan. Seperti Pura Rejeng Anyar, Pura Jati, dan sebagainya. 7esa

Komentar