Himperra Buleleng Mengadu ke DPRD
Soal Pengenaan Pajak BPHTB Rumah Subsidi
“BPHTB dulunya hanya dibayarkan 1 persen setelah ada proses pengurangan. Sekarang menjadi 5 persen tentu masyarakat Buleleng yang ingin memiliki rumah subsidi terhambat karena hal ini”
SINGARAJA, NusaBali - Himpunan Pengembang Pemukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) Buleleng akhirnya meneruskan keluhan konsumennya yang terkendala dalam pengurusan pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) rumah subsidi. Kenaikan pajak BPHTB dari sebelumnya 1 persen menjadi 5 persen sangat memberatkan masyarakat yang ingin memiliki rumah bersubsidi. Sejumlah pengurus DPC Himperra Buleleng diterima langsung di ruang Ketua DPRD Buleleng, Selasa (28/5) pagi kemarin.
Ketua Bidang Organisasi Kaderisasi dan Keanggotaan Himperra Bali, Gusti Bagus Alit Subawa mengatakan, perubahan regulasi yang berdampak pada kenaikan pajak BPHTB rumah bersubsidi sangat memberatkan masyarakat Buleleng. Mereka dari kelompok Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) harus menambah biaya cukup besar untuk membayar BPHTB. Tarif 5 persen yang diberlakukan saat ini membuat masyarakat harus mengeluarkan dana Rp 5,5 juta.
“BPHTB dulunya hanya dibayarkan 1 persen setelah ada proses pengurangan. Sekarang menjadi 5 persen tentu masyarakat Buleleng yang ingin memiliki rumah subsidi terhambat karena hal ini,” terang Alit Subawa.
Selain itu, dalam teknis pengajuan pembebasan pajak BPHTB masyarakat yang sedang berupaya memiliki rumah subsidi harus masuk dalam Daftar Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Jika tidak masuk maka pengajuan pembebasan BPHTB akan ditolak Badan Pengelola Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD) Buleleng.
Selain ketentuan pajak BPHTB yang dianggap memberatkan, dalam Perbup 40 yang dijadikan acuan penentuan besaran pajak juga ada hal yang dinilai tidak sesuai. Yakni pada pengaturan Prasarana Sarana Utilitas Umum (PSU) yang harus dipenuhi pengembang perumahan. Dalam ketentuan diatur jalan menuju perumahan minimal 5 meter. Namun lahan yang akan dikembangkan berada pada akses jalan yang kurang dari lima meter.
“Kita tahu bersama banyak jalan di Buleleng yang lebarnya hanya 3,5 meter, 4 meter. Jadi kalau kami buka lahan di jalan yang sudah ada kan sulit kami. Itu perlu mengubah tapal batas SHM seseorang yang dapat memicu konflik. Nah hal-hal ini menjadi masukan kami kepada pemerintah agar dapat dikaji ulang,” harap Alit Subawa.
Ketua DPRD Buleleng Gede Supriatna setelah mendengar aspirasi Himperra Buleleng, menjadi poin masukan untuk Pemkab Buleleng. Perbup yang dipakai acuan dan saat ini masih dalam tahap penyempurnaan disarankan untuk dikaji ulang.
Salah satu yang perlu disesuaikan klausul pengusulan keringanan pajak BPHTB harus masuk DTKS. Menurutnya ada ketidaksesuaian antara masyarakat DTKS dengan MBR. “Ketentuan rumah subsidi dari undang-undang itu kan untuk MBR yang penghasilannya maksimal Rp 8 juta. Lalu di perbup syaratnya harus DTKS. Kalau DTKS sudah pasti MBR. Tetapi MBR belum tentu DTKS. Sudah disampaikan tadi mumpung perbup masih berproses agar poin yang disampaikan Himperra menjadi kajian lagi,” tegas Supriatna.
Sementara itu dalam pertemuan tersebut DPRD Buleleng juga menghadirkan beberapa instansi terkait seperti BPKPD, Dinas Perkimta dan Bagian Hukum Setda Buleleng sebagai penghasil produk hukum. Dari BPKPD menyampaikan, dalam proses pengenaan pajak BPHTB mereka hanya menjalankan norma dan standar pelayanan yang sesuai dengan aturan dan kebijakan yang ada. Seluruh ketentuan termasuk kebijakan besaran pajak saat ini mengacu pada aturan yang ada.
Di tempat yang sama Kepala Bagian Hukum Setda Buleleng, Bayu Waringin menyebut dari persoalan yang ada di lapangan dan disampaikan Himperra, segera akan disampaikan kepada pimpinan daerah (Pj Bupati).
“Saat ini posisi Perda 9 Tahun 2023 tentang Retribusi Daerah diturunkan menjadi Perbup. Ini yang perlu dikomunikasikan secara detail aspirasi dari teman-teman. Jadi penting sekali pertemuan hari ini menjadi data pertimbangan dalam pengambilan kebijakan. Secepatnya akan dikomunikasikan dengan pimpinan,” terang Bayu Waringin.7 k23
Komentar