nusabali

Revolusi Putih dan Kuning

  • www.nusabali.com-revolusi-putih-dan-kuning

BALI Dwipa merupakan masa kejayaan gumi Bali. Bali merupakan salah satu gudangnya beras di nusantara.

Terasering padinya sangat terkenal ke seantero dunia. Ini karena Bali memiliki subak. Subak adalah organisasi tradisional yang mengatur sistem pengairan sawah. Dengan sistem pengairan yang diatur oleh subak, Bali mencapai kemakmurannya. Namun, peledakan jumlah penduduk menyebabkan eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran. Pada tahun 1960-an, terjadi Revolusi Hijau. Revolusi Hijau  telah menyebabkan perubahan pada sistem irigasi. Tidak saja sistem berubah, tetapi juga varietas padi baru bermunculan. Demikian juga metode menanam berganti. Para petani menaman padi sesering mungkin. Mereka sering mengabaikan kebutuhan petani lainnya. Ini sangatlah berbeda dengan sistem subak. Kebutuhan seluruh petani lebih diutamakan. Revolusi Hijau menghasilkan produk pertanian yang melimpah pada awalnya. Tetapi belakangan, kekurangan air, hama, dan polusi bermunculan silih berganti.  Jadi, kebaharuan sistem bertani tidaklah selalu menjamin terpeliharanya ekosistem yang baik, cetus Clifford Geertz. 

Meledaknya jumlah penduduk menyebabkan eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran. Namun mengingat lahan darat belum cukup untuk penyediaan pangan, maka dicanangkan Revolusi Biru. 

Revolusi Biru adalah usaha manusia dalam pemanfaatan sumber daya alam (SDA) hayati untuk memenuhi kebutuhan protein. Kekayaan sumber daya akan hayati laut dapat berasal dari hewan maupun protista. Kekayaan laut yang berasal dari hewan meliputi ikan, kerang, udang, kepiting atau cumi-cumi. Manusia telah lama melakukan eksploitasi SDA dengan cara yang wajar maupun cara-cara yang bersifat merusak. Cara mencari ikan yang dilakukan tanpa mempedulikan lingkungan, misalnya: mencari ikan dengan dinamit, pukat harimau, mata jaring yang kecil atau mencari ikan di musim kawin ikan. Cara-cara demikian akan merusak bio-hayati laut.

Ternyata, Revolusi Hijau dan Revolusi Biru kurang menjanjikan kesejahteraan Pulau Dewata. Alternatifnya, Pemerintah Provinsi Bali mencanangkan Revolusi Putih dan Kuning. Wujudnya adalah pariwisata budaya. Putih dan Kuning diambil dari wisatawan mancanegara (wisman) berkulit putih dan wisman berkulit kuning. Dengan segala daya dan upaya, kehadiran wisman berkulit putih dan kuning dipacu. Memang, upaya demikian membuahkan hasil. Buktinya, kedatangan wisman terus meningkat dari tahun ke tahun. Sehingga, ruang Bali kini padat dan sesak. Revolusi Hijau berdampak negatif terhadap sistem dan organisasi pertanian. Revolusi Biru menyebabkan rusaknya bio-hayati laut. Sedangkan, Revolusi Putih dan Kuning mungkin telah mengubah perilaku krama Bali. Budaya makan dan minum tradisional terpinggirkan oleh makanan cepat saji, seperti hot dog, burger, pizza, fried chicken, coke, dan sebagainya. Ekses negatif Revolusi Putih dan Kuning, antara lain dapat memacu komodifikasi aset sosio –kultural secara vulgar. Misalnya, Hari Raya Nyepi dikemas menjadi pesta di hotel-hotel. Karena tergiur nuansa Nyepi yang ikonik, lalu mereka berbondong datang ke Bali. Awalnya ingin merasakan khimadnya suasana sepi yang religius. Tetapi, karena komodifikasi, suasana khimad berubah menjadi suasana pesta paradoksal. Akibatnya, nilai Nyepi diwarnai dengan noktah seksual, mabuk-mabukan, dan narkoba.

Revolusi Putih dan Kuning juga dapat mengalihfungsikan ruang secara bebas di gumi Bali. Sawah dengan padi menguning, ladang dengan tanaman hortikultura, sungai dengan arus deras, danau dengan air tenang, tebing dengan julangan menakjubkan, telah berubah menjadi komoditas yang mendatangkan kesenangan wisatawan dan keuntungan pebisnis wisata. Sawah dijadikan vila, sungai dijadikan arung jeram, tebing dijadikan real estate eksklusif. Ruang Bali yang asri dan tenang tersisa menjadi ceritera masa lalu. Masa lalu tidak bisa diulang kembali, walau indah untuk dikenang. 

Kekinian wacana Bali dipenuhi dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat. Rutinitas Pesta Kesenian Bali selalu diulang tanpa sentuhan kebaharuan kerangka budaya. Ruang gumi Bali disesaki dengan restoran, rumah makan, vila, hotel dengan tipe melati dan bintang. Waktu Bali tercekat dengan pariwisata. Toleransi krama Bali terhadap tradisi beragam, ada yang setia, menyesuaikan, dan meninggalkan. Mozaik budaya Bali yang ikonik semakin dirindukan oleh berbagai suku dan bangsa. Semoga ekses negatif selalu dapat diminimalkan dengan cara memaksimalkan keyakinan berbudaya. 7

Komentar