Didirikan Untuk Mengenang Jasa Pahlawan Secara Niskala
Menelusuri Asal Usul Pura/Tugu Pahlawan Tjokorda Agung Tresna di Sobangan, Mengwi
Tugu Pahlawan Tjokorda Agung Tresna
Sobangan
Mengenang Jasa Pahlawan Secara Niskala
Bendesa Adat Sobangan
I Kadek Oka Suarya
Keberadaan Pura/Tugu Pahlawan Tjok Agung Tresna diawali peristiwa niskala (gaib) pohon enau/aren yang tumbuh di dekat Pura Puseh Gunung Agung Sobangan
MANGUPURA, NusaBali - Bentuk penghormatan kepada arwah para pahlawan diekspresikan secara beragam oleh masyarakat Pulau Dewata. Satu di antaranya adalah mendirikan tempat suci seperti yang dilakukan warga Desa Adat Sobangan, Kecamatan Mengwi, Badung.
Sosok pahlawan pejuang kemerdekaan yang juga wargi Puri Agung Denpasar (Puri Satria), Tjokorda Agung Tresna diperlakukan berbeda di Desa Adat Sobangan. Tugu Pahlawan yang didedikasikan untuk Tjok Agung Tresna berupa palinggih padmasana.
Kompleks palinggih padmasana lengkap dengan bale piyasan dan panyengker layaknya pura kecil ini tidak didirikan sembarangan. Keberadaan Pura/Tugu Pahlawan Tjok Agung Tresna ini diawali dengan peristiwa niskala (gaib) pohon enau/aren yang tumbuh di dekat Pura Puseh Gunung Agung Sobangan. Menurut kisah turun temurun di kalangan masyarakat setempat, wilayah Desa Adat Sobangan dahulu kala sangat terisolir. Wilayah desa ini diapit persawahan, hutan, Tukad Sayun dan Penet di sisi timur, dan Tukad Dangkang di sisi barat. Lokasi terisolir ini sangat strategis dijadikan markas perjuangan.
Oleh karena itu, Sobangan menjadi Markas Besar Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia (MBDPRI) Pandawa era perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan periode 1945-1950. Pimpinan dari MBDPRI Pandawa/Badung kala itu adalah Kapten Anumerta Tjok Agung Tresna. "Selain karena terisolir, masyarakat Sobangan juga setia kepada para pejuang. Banyak tempat persembunyian di sini mulai dari rumah warga, sungai, dan lainnya. Tetua kami bahkan punya sistem telik sandi," kata Bendesa Adat Sobangan, I Kadek Oka Suarya,58, ketika ditemui di sela persiapan pujawali Pura Puseh Gunung Agung Sobangan, Sabtu (1/6).
Sistem sandi yang dimaksud adalah setiap warga Sobangan menjadi mata-mata pejuang.
Ada semacam kode berupa kata, siulan, dan nyanyian yang menandakan situasi keamanan. Ketika ada musuh mendekat atau rombongan pejuang telah kembali ke Sobangan, warga akan saling bertukar sandi untuk mengabari pejuang yang masih ada di dalam desa. Selain itu, Pura Puseh Gunung Agung Sobangan sendiri menjadi lokasi persembunyian paling magis para pejuang. Pejuang yang bersembunyi di uttama mandala pura tidak akan pernah berhasil ditemukan musuh, dalam hal ini tentara Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Di samping karena para pejuang ini telah memohon restu kepada Ida Bhatara-bhatari, begitu ada inspeksi tentara NICA, kulkul desa akan dibunyikan. Secara serentak warga berbondong-bondong ke pura, seakan-akan sedang ada piodalan besar. Bahkan, ada pertunjukan seni tonil (drama) yang sarat kode sandi digelar untuk mengalihkan perhatian NICA.
Sayangnya, seiring berjalannya waktu, NICA mengetahui keberadaan Tjok Agung Tresna, begitu pula Sobangan sebagai markas MBDPRI Badung. Sekitar tahun 1947, tentara NICA mengepung Sobangan. Saat itu pula sistem telik sandi warga lumpuh lantaran warga dikumpulkan untuk diinterogasi namun semua mulut warga tetap terkunci karena kesetiaan.
Di saat yang sama, rombongan Tjok Agung Tresna hendak kembali ke Sobangan dari Desa Penarungan, Kecamatan Mengwi, Badung. Lantaran sistem sandi yang lumpuh, rombongan Tjok Agung Tresna tidak mengetahui situasi di Sobangan. Ketika mendekati Sobangan, lantas diketahui situasi sedang tidak menguntungkan.
"Ida Tjok Agung Tresna lari ke Desa Ayunan menuju Blahkiuh (Abiansemal, Badung). Tetapi, diketahui NICA. Di bantaran Tukad Penet, Ida dihujani peluru secara bertubi-tubi dan Ida wafat di sana, perbatasan Ayunan-Blahkiuh. Layon (jenazah) Ida dibawa dulu ke Puri Mengwi sebelum diizinkan NICA kembali ke Puri Satria untuk karya palebon," beber Suarya.
Bendesa Adat Sobangan, I Kadek Oka Suarya.-NGURAH RATNADI
Tercatat bahwa Tjok Agung Tresna wafat sebagai kusuma bangsa pada 29 Juni 1947 kala usianya masih 21 tahun. Beberapa tahun berselang peristiwa menyayat hati para pejuang MBDPRI dan warga Sobangan itu, kata Nyoman Gelodog,86, mantan Bendesa Adat Sobangan, tumbuh pohon enau kecil. Ajaibnya, pohon enau kecil itu sudah berbunga dan berbuah.
"Waktu itu sudah termasuk masa yang bersih (aman), ada pohon beringin perempuan (kroya) di dekat Pura Puseh, di bawahnya ada jaka (pohon enau) kecil yang sudah berbuah. Itu benar-benar jaka bukan palem," ujar Gelodog yang juga ayahanda bendesa saat ini ketika ditemui, Sabtu siang. Diketahui, di bawah beringin itu adalah tempat persembunyian pejuang yang sama magisnya dengan Pura Puseh Gunung Agung Sobangan. Pohon enau ini muncul dari areal persembunyian magis itu. Gelodog yang kala itu masih belia menyebut, pohon enau itu dibawa ke Pura Puseh Gunung Agung. Tetua di Desa Adat Sobangan lantas memohon petunjuk spiritual mengenai fenomena pohon enau kecil berbuah itu.
"Warga sempat bertanya-tanya, ada apa ini bisa ada tumbuhan seperti itu. Setelah ditanya ke luhur, didapatkan petunjuk bahwa Ida Tjok Agung Tresna ingin mengabdi kepada Ida Bhatara-bhatari di Pura Puseh ini," imbuh Gelodog yang kala fenomena ini terjadi, ayahandanya sedang menjabat Bendesa Adat Sobangan. Petunjuk ini, lantas didirikan monumen. Sesuai petunjuk spiritual, monumen dibuat berbentuk padmasana. Di mana secara filosofis merupakan palinggih panyungsungan universal. Di samping itu, di padmasana terdapat patung Avatara Krisna dan kera.
"Pura Tjok Agung Tresna dibangun sekitar 1953. Palinggih padmasananya, diapit patung Krisna yang mencerminkan sosok Ida Tjok Agung Tresna yang cerdas dan baik hati. Patung Krisna itu ditemani patung kera sebagai simbol pasukan Ciung Wanara yang dipimpin Ida Tjok Agung Tresna," ungkap Bendesa Suarya. Monumen atau Tugu Pahlawan Kapten Anumerta Tjok Agung Tresna ini, kata Suarya, adalah istilah umum yang dipakai oleh masyarakat luar. Namun, warga Sobangan sendiri menyebut monumen ini sebagai Pura Tjok Agung Tresna. Pura ini memiliki hari pujawali pada Purnama Sasih Kapat.
Pada hari-hari kebangsaan dan perjuangan seperti Hari Puputan Margarana dan HUT Kemerdekaan RI, warga mempersembahkan segehan wong-wongan berwujud tentara dan polisi. Ini dikarenakan Tjok Agung Tresna memimpin dua korps ini dalam wadah MBDPRI Badung saat masa perjuangan fisik. Di samping itu, arwah prajurit tentara dan polisi ini dipercaya warga masih berada di Lapangan Tjok Agung Tresna Sobangan yang berada di belakang Pura Tjok Agung Tresna. Sebab, sebelum menjadi lapangan desa pada tahun 1987, dulunya adalah titik kumpul para pejuang.
"Kalau ada yang menggelar perkemahan di Lapangan Tjok Agung Tresna tetapi tidak sembahyang memohon restu di pura, mereka akan melihat tentara dan polisi berkeliaran di sana," kata Suarya. Kini, Pura Tjok Agung Tresna ini dikelola 663 kepala keluarga di Banjar Tengah dan Banjar Selat, Desa Sobangan. Pura ini juga disucikan oleh para veteran pejuang kemerdekaan yang berada di Desa Baha, Kecamatan Mengwi, Badung. Beberapa wargi Puri Agung Denpasar pun masih aktif berkunjung ke pura ini ketika ada pujawali.
Sayangnya, kisah dan sejarah yang menjadi warisan ini sukar dilestarikan dalam bentuk literasi. Suarya mengaku keterbatasan dana membuat cita-cita mendirikan museum mengenai pejuang dan warga Sobangan yang memilih NKRI ini terhambat. "Maunya seperti itu (ada museum), karena Sobangan ini memang dikenal sebagai basis pejuang. Harapannya, penerus kami ke depan bisa tetap mengenang perjuangan ini dan menjadi motivasi persatuan kesatuan di dalam desa kami sendiri," tandas Suarya. 7 ol1
Komentar