Bendesa di Tabanan Digembleng Masalah Hukum Antikorupsi
Bendesa Adat
Pemaparan Hukum
Gedung Kesenian I Ketut Maria
Kejaksaan Negeri Tabanan
Lembaga Perkreditan Desa (LPD)
TABANAN, NusaBali - Bendesa adat se–Kabupaten Tabanan digembleng soal hukum antikorupsi pada Senin (3/6). Kegiatan yang digelar di Gedung Kesenian I Ketut Maria menghadirkan pemateri dari Kejaksaan Negeri Tabanan.
Sosialiasi yang digelar oleh Pemkab Tabanan ini bertujuan untuk melindungi bendesa adat dari jeratan hukum yang menyimpang. Kegiatan ini bakal digelar berkelanjutan untuk menghindari adanya kasus serupa seperti Bendesa Adat Berawa.
Dalam pemaparan materi, Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Tabanan Nengah Ardika, menekankan pentingnya kehati-hatian dalam melakukan kegiatan yang berpotensi menimbulkan masalah hukum. Menurutnya, pengelolaan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) menjadi salah satu sumber utama kasus tindak pidana di desa adat.
“Kasus LPD paling banyak kami tangani, baik yang sedang dalam proses maupun yang sudah diputus. Ini disebabkan oleh potensi penyalahgunaan dana LPD yang sangat besar, mengingat jumlah uang yang dikelola bisa mencapai miliaran rupiah,” kata Ardika.
Selain pengelolaan LPD, Ardika juga menyebutkan beberapa potensi tindak pidana lainnya yang sering terjadi di desa adat, seperti pungutan liar, gratifikasi, pemerasan, serta pengenaan tarif pembelian tanah, dan pembangunan tanpa dasar hukum yang jelas. Potensi lain termasuk pengelolaan parkir dan pariwisata tanpa izin yang sah.
“Tabanan memiliki potensi pelanggaran hukum yang tinggi, sehingga kejaksaan tidak hanya fokus pada penindakan, tetapi juga memberikan pembinaan kepada desa adat. Ini penting karena pengetahuan hukum di kalangan pengurus desa adat masih belum merata,” tambahnya.
Kegiatan sosialisasi ini bertujuan untuk berbagi pengetahuan mengenai hal-hal yang dapat memicu tindak pidana korupsi.
Ardika juga menyoroti beberapa pararem (peraturan adat) desa yang mencantumkan persentase dalam transaksi jual beli tanah. Dia menyarankan agar aturan tersebut direvisi dan diawasi oleh majelis adat setempat secara berjenjang.
“Beberapa pararem bahkan belum terdaftar. Jika desa adat ingin memiliki pemasukan, pengelolaan harus dilakukan secara legal. Misalnya, pengelolaan parkir harus melalui Penandatanganan Perjanjian Kerjasama (PKS) dengan Dinas Perhubungan atau pajak parkir dengan Badan Keuangan Daerah (Bakeuda),” tutur Ardika.
Untuk itu dia menegaskan bahwa pihaknya siap memberikan pendampingan untuk melindungi desa adat dari oknum-oknum yang merugikan masyarakat luas. “Kami ingin melindungi desa adat dari oknum yang merugikan masyarakat, dan siap membantu memberikan pendampingan bagi desa adat,” tandasnya. 7 des
1
Komentar