MUTIARA WEDA: Jalan Tengah, Susah?
Paripurnatame saksac chri-krsne purusottame idrci ca krta bhaktir yuvabhyam prema-laksana, tirthatana-tapo-dana-sagkhya-yogaic ca durlabha cacvati yuvayoh prapta ya bhaktih prema-laksana. (Garga Samhita, 5.14.33-34).
Melalui cinta kasih dan pengabdian abadi kalian dapat merasakan Tuhan Yang Maha Esa, Krishna, dan tidak dapat dicapai melalui ziarah, pertapaan, amal, samkhya, atau yoga.
TEKS ini rentan disalahpahami. Tanpa referensi yang cukup, kita bisa dibawa pada dua sisi ekstrem. Pertama super confidence, atau kedua super bingung. Super confidence mungkin ok saat sendiri tapi berbahaya jika kontak dengan masyarakat. Mengapa? Keyakinan kuat ini akan mudah menggeser kita menjadi fanatik, merasa benar sendiri, hanya yang diyakini paling benar, keyakinan orang lain salah. “Tidak ada jalan lain selain jalan yang kuyakini karena teks bicara begitu”. Di luar tidak ada kebenaran, hanya ini kebenaran itu. Rasa fanatik ini menjadi jalan untuk menghakimi, menyalahkan keyakinan orang lain, dan bahkan memiliki ambisi ‘suci’ untuk mengajak orang lain agar ikut keyakinan kita. Ada orang yang mudah terjatuh pada sisi ini.
Sebaliknya, ada juga orang yang bingung. Mengapa bingung? Karena teks lain menyebut hal sejenis. Dalam tradisi yang berbeda, masing-masing mengunggulkan ‘metodenya’. Ia bingung dan kemudian bertanya ‘mana yang benar?’ Ada yang mengatakan hanya bakti satu-satunya jalan, hanya jnana jalan itu, atau hanya kriya yang dapat mengantarkan, cara lain hanya alat bantu. Tipe orang ini tidak bisa menentukan untuk dirinya. Jika semuanya paling benar, lalu mana yang tidak benar? Untuk menentukan apakah jalan ini benar atau tidak sangat tergantung dengan lawannya. Agar A benar memerlukan B yang tidak benar sebagai sandingannya. Jika semuanya benar, lalu bagaimana kita bisa memilihnya?
Dari kedua tipe ini, mana yang lebih berbahaya? Yang pertama akan menyalahkan dan bahkan merasa benar untuk memusnahkan ajaran lain atau orang yang berkeyakinan lain. Yang kedua akan merusak ke dalam. Ia tidak memiliki kepastian, berada dalam keraguan. Keyakinannya tidak firm dan tidak fit untuk perjalanan spiritual. Kedua tipe ini sama-sama menghancurkan, hanya saja tipe pertama akan menghancurkan orang sekitarnya, tipe kedua menghancurkan dirinya. Apa solusinya? Apakah teksnya yang disalahkan? Atau interpretasinya yang perlu dibenahi? Atau sekalian tidak perlu belajar? Solusi pertama tentu tidak tepat, sebab teks di atas dibuat dalam sebuah tradisi dan menjadi kebenaran tradisi itu. Menghancurkan teks berarti menghancurkan tradisi itu sendiri.
Bagaimana dengan solusi kedua? Mungkin logis, tapi susah menerapkannya. Artinya, ketika kita interpretasi ‘secara prinsip, semuanya benar sebab jalan itulah yang ditapaki oleh masing-masing tradisi’, orang akan menolaknya. Ia yang berada dalam salah satu tradisi, yang keyakinannya tinggi, yang super confidence akan menolak hal ini. Demikian juga, orang susah berpikir di jalan tengah karena by design pikiran selalu oposisi biner, benar-salah, susah-senang. Agar tidak bingung, orang perlu mendapat satu pilihan yang pasti dan benar. Kalau semua benar, orang jadi bingung. Jadi, baik yang super confidence maupun yang bingung susah menerima jalan tengah (jalan apapun benar).
Sebenarnya, agar aman, lebih mending tidak perlu belajar, sehingga tidak ada yang perlu diyakini dan tidak ada yang diragukan. Tetap bodoh bisa menjadi pilihan paling aman, namun kontra evolutive. Secara alami, pikiran orang berevolusi. Orang yang telah matang perkembangannya tidak nyaman berada dalam kebodohan. Mereka berupaya mengatasinya dengan belajar. Ketika belajar, kembali kedua masalah di atas terjadi. Sehingga, yang bisa dilakukan adalah menerima konsekuensi apapun yang terjadi. Jika belajar adalah kebutuhan, lalu muncul masalah super confidence dan keraguan, kita harus menerimanya dan tetap berupaya agar mengarah pada jalan tengah. Sistem pendidikan harus diplot sedemikian rupa agar orang bisa sampai pada jalan itu. Ruang-ruang yang membuat orang menjadi condong ke kanan atau ke kiri, super confidence atau peragu dibuat sesempit mungkin. Hanya dengan demikian teks di atas bisa aman dibaca oleh siapa saja. Apa jadinya jika super confidence dan peragu itu diberikan ruang? Lihatlah sejarah. 7
I Gede Suwantana
Direktur Bali Vedanta Institute
1
Komentar