Memilih Pemimpin Lewat Politik, dengan Uang
ORANG jujur pasti kecewa berat kalau berpolitik. Yang senantiasa bertindak dengan hati nurani pasti sakit hati jika coba-coba berpolitik.
Politik bukan gerakan nurani. Ia arus siasat, taktik, akal-akalan, yang bisa ganas seperti air bah, bisa bengis bagai topan dan badai. Tiba-tiba bisa pula lembut mengusap-usap bak angin semilir, membuat kita terbuai, terayun-ayun, duduk melamun, mengkhayal.
Sekarang orang tak mungkin membebaskan diri dari gejolak politik. Politik itu arus yang sangat kuat menyeret, acap kali membinasakan, namun tidak berarti ia tak mungkin dikendalikan. Orang butuh pegangan, tempat bergayut, agar tidak seenaknya politik membanting-banting.
Kita lantas mengenal, tak ada yang tabu dalam politik. Politikus itu diperkenankan menyembah-nyembah untuk mencapai tujuan, tapi di saat lain, ketika keinginan terpenuhi, ia akan menjagal orang-orang yang pernah dengan cemerlang membantunya. Politik nyaris selalu menghalalkan segala cara.
Di masa kini, politik harus hadir setiap saat. Ketika hendak menentukan pemimpin, politik menjadi cara untuk menentukan yang terpilih. Timbangan nurani, moral, terkesampingkan. Sang pemenang adalah mereka yang lihai bersiasat. Atau seseorang yang siap menjadi boneka orang-orang yang hendak berkuasa.
Kesan yang selalu muncul adalah, politik itu kotor, jahat, curang. Ia membalik yang benar jadi salah, yang keliru jadi betul, yang putih jadi merah, yang rendah menjadi tinggi. Dalam berpolitik, acap kali orang bertanya-tanya, kebenaran itu apa?
Orang Bali sesungguhnya tak berbakat jadi politikus ulung. Mereka itu seniman, yang lebih sering bertindak dan bergerak berdasarkan hati nurani. Konon, orang Bali mengutamakan kejujuran, menjauhkan diri dari tipu muslihat — sesuatu yang mutlak dikuasai kalau berpolitik. Ada kesan, kalau berpolitik, orang Bali cenderung ikut-ikutan, agar tidak dicap sebagai orang-orang yang buta politik. Pembantaian orang-orang yang dituduh komunis tahun 1965 menunjukkan, betapa orang Bali tidak terlampau paham berpolitik. Mereka tega membunuh sanak saudara, sahabat, kerabat. Perbedaan pandangan bersemai menjadi dengki jika orang Bali berpolitik.
Namun orang Bali, kini, harus menentukan pemimpin mereka lewat gelanggang politik. Karena mereka tak berbakat jadi politikus, dengan mudah mereka diarahkan untuk melakukan tindakan-tindakan yang apolitik. Uang pun gampang bermain untuk menentukan ke arah mana angin politik harus dihembuskan. Dengan gampang pula mereka berdalih, uang itu bukan untuk menyogok mereka agar mengkhianati hati nurani. Uang itu ongkos karena terjun ke gelanggang politik tak pernah gratis. Politik butuh biaya sangat besar, pakelem, pengorbanan, yang tak kecil.
Begitulah repotnya kalau kita memilih pemimpin lewat panggung politik. Pertimbangan moral dikesampingkan, kalah oleh suara terbanyak. Dan suara-suara itu begitu mudah dikendalikan, untuk tidak mengatakan demikian gampang dibeli, dengan uang. Hati nurani pun terkesampingkan. Rasanya, kita ingin menentukan pemimpin tanpa melewati jalur politik, tanpa pakelem besar.
Tapi semua orang tahu itu mustahil, kecuali kita meniadakan demokrasi. Tatkala penentuan pendapat menjadi sesuatu yang diunggulkan, di situlah kejelasan seorang pemilih dan yang dipilih tampak. Publik menjadi tahu ke arah mana zaman akan terbawa, dan menjadi paham mengapa seseorang harus kalah, dan yang lain mesti dimenangkan.
Jadilah panggung yang menggelar teater politik itu asyik. Bukankah barisan orang-orang yang kecewa dan sakit hati, terluka, oleh permainan politik merupakan kisah-kisah menarik? Berkat politik, publik pun tahu seberapa besar kapasitas seseorang yang terpilih untuk jadi pemimpin, karena politik itu ‘menelanjangi’ dia di depan umum.
Untuk memberi tempat pada kebebasan menyatakan pendapat, zaman membutuhkan politik. Kita pun butuh politikus. Para tokoh dan dedengkot membutuhkan banyak uang untuk mengelabui. Kalau para politikus itu kemudian jadi pemimpin, dan dia seorang negarawan, kita akan mencapai zaman yang sentosa. Kalau tidak, kita tak pernah berhenti saling curiga, rajin menyimpan dengki satu sama lain, dan berantem terus. 7
1
Komentar