Gus Cupak Tampilkan Arja Klasik dengan Gelungan Sakral Sanggar Majalangu di PKB XLVI 2024
Nedunang saat Saraswati, Gelungan Hanya Ditarikan oleh Gus Cupak
Saat Tilem pada Wraspati Wage Bala, Kamis (6/6/2024), Gelung Ratu Ngurah Cupak dibawa sembahyang dan memohon taksu di Pura Luhur Taksu Agung, Jatiluwih, Tabanan.
MANGUPURA, NusaBali - I Made Agus Adi Santika Yasa, 42, adalah seniman topeng dan pedalangan serba bisa dari Banjar Padang, Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung. Namun, penampilan khasnya adalah sebagai lakon Cupak hingga dirinya kini populer disapa Gus Cupak.
Gus Cupak bersama paguyuban seni yang didirikannya, Sanggar Seni Majalangu, kembali memeriahkan Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVI 2024 setelah terakhir tampil tahun 2018 merekonstruksi Wayang Wong khas Kerobokan. Namun, baru PKB tahun ini dia bisa tampil sebagai ‘dirinya sendiri’ yakni lakon Cupak.
Ketua Sanggar Seni Majalangu I Made Agus ‘Cupak’ Adi Santika Yasa -IST
Arja Cupak merupakan salah satu kesenian klasik Bali yang berkembang di Badung, khususnya di Desa Adat Kerobokan dan pernah jaya pada masanya. Pada awal tahun 2000-an, Gus Cupak mempioneri pembentukan sekaa Arja Cupak untuk tujuan ngayah kesenian balih-balihan ketika ada pujawali pura.
“Saat itu kurang pemeran Cupak. Karena tidak ada, ya saya sendiri yang memerankan. Mungkin dinilai cocok oleh teman-teman, sampai sekarang peran Cupak itu melekat pada diri saya,” ujar Gus Cupak ketika ditemui di Sekretariat Sanggar Seni Majalangu, Banjar Padang, Kerobokan, Senin (10/6/2024).
Mantan Ketua Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibiya) Kecamatan Kuta Utara ini kini lebih dikenali oleh seniman Badung dan Bali sebagai ‘Gus Cupak’ ketimbang nama aslinya. Gus Cupak mengaku mempertahankan orisinalitas dirinya dan tidak terlalu dibuat-buat ketika memerankan lakon Cupak.
Pada PKB XLVI tahun ini, Gus Cupak kembali dipercaya Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung untuk merevitalisasi kesenian klasik. Kesenian klasik yang dipilih untuk diperkuat kembali keberadaannya adalah Arja Klasik Cupak yang memang menjadi spesialisasi Sanggar Seni Majalangu sejak berdiri tahun 2005.
“Kisah yang kami angkat dalam revitalisasi kesenian klasik Arja Cupak ini adalah sisi baik dari lakon Cupak. Berbeda dengan kisah Cupak Grantang yang latar kisahnya masih di Kerajaan Kediri, yang ini adalah perjalanan Cupak di Gobagwesi,” beber Gus Cupak yang juga seorang suami dan ayah dengan dua anak.
Cupak dalam cerita rakyat sering kali hanya disorot sebagai tokoh yang rakus dan licik. Dia digambarkan bertolak belakang dengan adiknya, Grantang. Padahal, ada kisah Cupak ketika dia berhasil mengalahkan sifat-sifat buruk dalam dirinya dan menjelma menjadi sosok yang dikagumi. Sifat ini muncul ketika dia berada di Kerajaan Gobagwesi.
Dikisahkan setelah meninggalkan Kediri usai kalah Perang Paplengkungan memperebutkan Putri Kerajaan Kediri dari Made Sambut Sagara (Grantang), Cupak mantap memperbaiki diri. Sampailah dia di suatu daerah bernama Gobagwesi yang terlihat suram dan rakyatnya dipenuhi ketakutan. Usut punya usut, Gobagwesi tengah dijajah Garuda Agung.
Garuda Agung ini kemudian dikisahkan berhasil dikalahkan Cupak. Atas jasanya itu, Cupak hendak dinobatkan menjadi Raja Gobagwesi namun dia menolak. Katanya, dia belum pantas menerima gelar itu karena dirinya masih ‘kotor’. Cupak meminta waktu agar dia bisa ‘membersihkan’ dirinya dahulu sehingga pantas menjadi raja.
“Perang melawan Garuda Agung ini kan simbol bahwa Cupak melawan musuh dalam dirinya sendiri; kesombongannya, keburukannya, dan kebodohannya. Lantas, sampailah dia pada suatu titik yang dihadapkan pada hadiah menjadi raja namun ditolak karena merasa belum pantas,” jelas Gus Cupak.
Serpihan kisah Cupak dari Kediri ke Gobagwesi ini dirangkum dalam alur kisah bertajuk Cupak Jayeng Rana (Cupak Menang Perang). Kata Gus Cupak, perang yang dimaksud adalah melawan sifat-sifat buruk dalam diri yang disimbolkan sebagai Garuda Agung. Hal ini dinilai sejalan dengan tema PKB XLVI yakni Jana Kerthi Paramaguna Wikrama (Harkat Martabat Manusia Unggul).
Rekasadana (pergelaran) Arja Klasik Cupak Jayeng Rana akan dipertunjukkan di Kalangan Angsoka, Taman Budaya Bali (Art Center), Denpasar pada 6 Juli 2024 pukul 14.00 Wita. Pergelaran ini melibatkan 40 seniman yang terdiri dari 30 penabuh Gamelan Samarandana dan 10 penari/pemeran arja.
“Saya sendiri memerankan Cupak, akan tampil dengan gelungan (mahkota) yang kami sakralkan di Sanggar Majalangu. Saat Tilem pada Wraspati Wage Bala, Kamis (6/6/2024) lalu, kami bawa untuk sembahyang dan memohon taksu di Pura Luhur Taksu Agung, Jatiluwih, Tabanan,” ungkap Gus Cupak.
Gelung Ratu Ngurah Cupak ini menjadi saksi karier Gus Cupak dalam berkesenian sejak awal tahun 2000-an. Rambut-rambut kepala dan janggut pada gelungan, kata Gus Cupak, diambil dari rambut kerabatnya yang belum akil balik. Kemudian, terdapat ornamen seperti permata yang merupakan warisan leluhur Gus Cupak.
“Ketika Hari Suci Saraswati tiba, gelungan ini kami turunkan dari gedong suci. Biasanya ada yang kerauhan (trance) dan kami pakaikan gelungan ini sebentar. Ada juga persembahan babi guling, itu yang lantas dimakan,” imbuh Gus Cupak.
Selain saat acara nedunang (menurunkan mahkota) ketika Hari Suci Saraswati, Gelung Ratu Ngurah Cupak ini belum pernah ditarikan oleh siapa pun selain Gus Cupak. Dia percaya, gelungan inilah yang membuat peran Cupak itu melekat pada dirinya hingga banyak dikenal masyarakat dan seniman lain.
Di luar sanggar, taksu dari Gelung Ratu Ngurah Cupak ini juga dipercayai masyarakat umum. Menurut Gus Cupak, jika ditelisik dari tattwa, lakon Cupak adalah pewayangan (cerminan) dari orang yang lahir pada hari Anggara (Selasa) Kliwon. Ketika mereka otonan, biasanya dimohonkan Panglukatan Sudamala dengan pelengkap tari/wayang Cupak.
Terlepas dari sisi lain dan keunikan Duta Badung untuk PKB XLVI ini, Gus Cupak berharap apa yang ditampilkan Sanggar Majalangu nanti dapat memberikan nilai tontonan sekaligus tuntunan. Dia juga berharap, kesenian klasik dapat lestari, diterima, dan diapresiasi masyarakat dengan datang menonton pada 6 Juli mendatang. 7 ol1
Komentar