Bangkrut Pasca Bom Bali I, Sempat Jadi Tukang Bangunan
Ida Bagus Putu Putra yang akrab dipanggil Gus Gerong, 44, melihat peluang usaha dari banyak kebutuhan perlengkapan rias pengantin.
Gus Gerong, Perajin Perlengkapan Rias Pengantin
BANGLI, NusaBali
Pria asal Banjar Pande, Kelurahan Cempaga, Kecamatan/Kabupaten Bangli, ini memilih membuat perlengkapan rias pengantin seperti gelung agung, gelang kana, sabuk, badong, sicar. Awalnya pesanan tidak banyak bahkan bisa dihitung dengan jari, namun belakangan usaha ini menunjukkan tren menggembirakan.
Ditemui NusaBali di bengkel kerjanya di Banjar Pande, Kelurahan Cempaga, Rabu (2/8), Gus Gerong menjelaskan untuk membuat gelung agung membutuhkan lembaran tembaga dengan ketebalan 0,3 milimeter, dengan ukuran 120 x 40 cm sebanyak 1 lembar. Sebelum tembaga diolah terlebih dahulu harus dipanaskan, Proses ini dilakukan agar nantinya lembaran tembaga tidak keras saat di ukir. Setelah tingkat panasnya cukup, tembaga ditempatakan di atas gale (getah kayu damar). Selanjutnya menunggu proses pendinginan, dan baru dilanjutkan dengan proses mengukir lempengan tembaga sesuai sketsa gambar. Mengukir lempengan tembaga menggunakan pahat.
Setelah proses mengukir selesai, dilanjutkan dengan proses kimia yakni melapisi lempengan tembaga yang telah diukir dengan lapisan emas. Terakhir yakni memasang pernak pernik berupa diamond (permata).
“Untuk membuat gelung agung membutuhkan waktu sekitar 15 hari. Jika membuat perlengkapan rias pengantin lengkap membutuhkan waktu sekitar 25 hari,” jelasnya.
Mengenai harga jual hasil karyanya, untuk jenis gelung agung dibandrol dengan harga Rp 7 juta, sedangkan untuk badong gelang kana 1 set seharga Rp 800.000, untuk sabuk harganya Rp 1,5 juta. Pemesan tidak hanya dari Bangli, ataupun kota lainnya di Bali, ada pula pesanan dari daerah lain.
Sebelum menekuni usaha perlengkapan rias pengantin, Gus Gerong awalnya perajin perak. Dia menekuni kerajinan perak sejak 1999 silam. Dia juga membuat sarung keris berbahan perak. Namun pasca bom Bali I usahanya bangkrut.
“Sebelum bom Bali I, pesanan untuk membuat sarung keris melimpah, biasanya untuk cenderamata,” ungkapnya.
Pasca bom tersebut berdampak pada sendi-sendi pariwisata Bali dan berimbas pula pada usahanya. “Beberapa bulan setelah bom, order semakin sepi dan akhirnya kami gulung tikar,” tuturnya. Bahkan karena tidak ada pekerjaan, di tengah tuntutan ekonomi, dia mengaku sempat banting setir menjadi tukang bangunan dan menjadi tukang ukir kayu.
Namun karena penghasilan sebagai buruh bangunan atau tukang ukir kayu dirasanya tidak bisa menutupi kebutuhan sehari-hari, akhirnya dia kembali menjadi perajin. Saat kembali ke habitat asilnya sebagai perajin, dia tidak lagi berkutat dengan perak namun beralih menggunakan tembaga dan melirik peluang membuat karya seni berupa perlengkapan rias pengantin. Kerja keras kini membuahkan hasil. Hasil karyanya cukup diminati di pasaran. *e
Komentar