JPU Mentahkan Eksepsi Bendesa Berawa
Bendesa Adat Berawa
JPU Mentahkan Eksepsi
Pengadilan Tipikor Denpasar
Jalan Tantular No. 32
Dangin Puri Klod
Mengingat status terdakwa sebagai Bendesa Adat yang menerima gaji dari keuangan Daerah Provinsi Bali dan Kabupaten Badung memenuhi kriteria dalam definisi Pegawai Negeri sebagaimana diatur dalam UU Tipikor
DENPASAR, NusaBali - Jaksa Penuntut Umum (JPU) I Nengah Astawa dkk, merespon eksepsi yang diajukan oleh Tim Kuasa Hukum Bendesa Adat Berawa I Ketut Riana, dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar, pada Kamis (13/6).
Dalam eksepsinya sebelumnya, tim kuasa hukum berargumen bahwa kejaksaan tidak berwenang melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Bendesa Adat yang bukan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Mengacu pada ketentuan Pasal 12 huruf e Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan dan bahwa dakwaan yang diajukan tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap.
Menyikapi argumen tersebut, JPU menjelaskan bahwa definisi ‘pegawai negeri’ sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Tipikor mencakup berbagai kriteria, tidak hanya terbatas pada orang yang memenuhi syarat PNS menurut Undang-undang tentang Kepegawaian.
"Pernyataan bahwa Pengadilan Tipikor Denpasar tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara ini karena terdakwa bukan Pegawai Negeri Sipil tidaklah tepat. Mengingat status terdakwa sebagai Bendesa Adat yang menerima gaji dari keuangan Daerah Provinsi Bali dan Kabupaten Badung memenuhi kriteria dalam definisi Pegawai Negeri sebagaimana diatur dalam UU Tipikor," ungkap JPU. Status terdakwa sebagai subjek hukum dalam Pemerintahan Provinsi Bali berdasarkan Perda Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 juga dipertegas.
Jaksa juga menilai bahwa dalil yang diajukan oleh penasehat hukum terdakwa seharusnya ditolak. "Mengenai status Pegawai Negeri Sipil tersebut akan dibuktikan dalam proses persidangan yang sedang berjalan," imbuhnya.
Sementara itu, terkait dengan keberatan bahwa surat dakwaan tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap, JPU menjelaskan bahwa setiap surat dakwaan yang diajukan harus memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 143 KUHAP. Pasal ini menegaskan bahwa surat dakwaan harus menyebutkan dengan jelas mengenai identitas terdakwa, uraian tindak pidana yang didakwakan beserta waktu dan tempat kejadiannya.
Dalam kasus ini, JPU menegaskan bahwa surat dakwaan yang disusun telah memenuhi ketentuan tersebut dengan menyebutkan secara rinci perbuatan yang diduga dilakukan oleh I Ketut Riana. Termasuk di dalamnya adalah upaya pemerasan sebesar Rp 10 miliar terhadap saksi Andianto T Moruk. Serta ancaman terhadap pengembang properti yang beroperasi di wilayah Desa Adat Berawa.
JPU menjelaskan bahwa terdakwa menggunakan beberapa strategi untuk memaksa saksi Andianto agar mengeluarkan uang sebesar Rp 10 miliar. Salah satunya adalah dengan menolak menandatangani Berita Acara Pertemuan yang merupakan dokumen penting dalam proses perizinan lingkungan, seperti yang diatur dalam AMDAL/UKL-UPL/SPPL. Tindakan ini dianggap sebagai bentuk tekanan agar Andianto T Moruk memenuhi permintaannya.
Selain itu, pada bulan Maret 2024, Terdakwa juga disebutkan mengancam akan menutup akses pembangunan yang dilakukan oleh PT Berawa Bali Utama, karena dianggap belum memiliki izin dan belum memberikan kontribusi yang diinginkan kepada desa adat. Ancaman ini juga merupakan bagian dari upaya terdakwa untuk mendapatkan dana sejumlah besar dari pihak swasta.
JPU menegaskan bahwa perbuatan ini melanggar hukum dan merugikan pihak lain secara ekonomi, serta menciderai proses hukum yang seharusnya transparan dan adil. 7 cr79
1
Komentar