Salahkan Siapa Kalau Belum Berkeadilan?
KEADILAN sosial terasa merangkak lamban dan lajunya sering terseok, terkendala, dan terkoyak. Persepsi tentang keadilan sosial amat beragam, bervariasi satu dengan lainnya.
Hal demikian dikarenakan prinsip keadilan seseorang atau sekelompok orang berbeda. Keadilan kadang dipersepsi berdasarkan hak, jasa, atau kebutuhan. Contohnya, hak untuk memeroleh keadilan merupakan hak asasi manusia. Hak tersebut dipahami melekat, setara dan tanpa diskriminasi agama, keyakinan, ras, usia, jenis kelamin, orientasi seksual, bahasa, pandangan politik, status perkawinan, atau disabilitas. Apabila hak tersebut dinafikan, reaksinya protes, caci maki, demo atau sejenisnya kepada penguasa? Menurut Teori Stakeholders yang diadvokasi oleh R Edward Freeman bahwa keadilan merupakan tanggung jawab aktif pihak berkepentingan, seperti masyarakat, politisi, wirausaha, pemerintah, dan lainnya. Jadi, tidaklah adil hanya mencerca atau memprotes penguasa.
Keadilan berdasarkan atas jasa atau keadilan distributif, yaitu: keadilan yang jatahnya terdistribusi merata kepada seseorang atau sekelompok orang. Keadilan distributif tidak harus sama antara pemegang saham dan pihak berkepentingan, tetapi harus proporsional. Kue pariwisata harus dapat dinikmati oleh, misalnya: wirausaha kreatif dan usaha kecil masyarakat pedesaan. Demikian juga, kue berbagai jenis pariwisata harus dapat pula dinikmati oleh winisatawan, misalnya, pemandu wisata, sopir taksi, pelayan pondok wisata, pelayan restoran, penjual makanan, penjual suvenir, dan lainnya. Ketika keadilan distributif timpang, maka gerutu dan protes diarahkan ke pihak pemegang saham, pengusaha pariwisata, atau penguasa daerah maupun nasional. Tergerusnya kearifan lokal, seperti subak, ditengara karena tumpang tindihnya peraturan dan perundang-undangan. Mungkin, ‘kehilangan’ tersebut dengan ketahanan terhadap keyakinan ‘tanah’. Dalam kosmologi Hindu, tanah merupakan ‘ikang prethiwi ya patimbunan ng tatwa kabeh’ — tempat manusia hidup yang dinyatakan sebagai kumpulan semua unsur Panca Maha Bhuta. Tanah menempati posisi sangat penting bagi krama Bali Hindu. Ironisnya, krama Bali beralasan bahwa pemenuhan kebutuhan fisiologikal, maka tanah dialihfungsikan atau dijual ke pemilik saham. Jangan salahkan penguasa saja tetapi harus direfleksikan ke sistem keyakinan tentang tanah itu.
Keadilan berdasarkan kebutuhan merupakan keadilan yang bersifat khusus. Kebutuhan adalah keinginan manusia terhadap suatu barang dan jasa yang harus dipenuhi guna mempertahankan kehidupannya. Sementara, keinginan adalah sesuatu hal yang ingin kita miliki, tetapi apabila tidak berhasil mendapatkannya maka tidak akan berpengaruh besar pada kelangsungan hidup. Maraknya mal dibangun di gumi Bali memicu keinginan bebas masyarakat.
Mal merupakan tempat yang berkaitan dengan kegiatan jual beli, terdiri dari retail-retail yang menghadap koridor jalan yang dilalui oleh pejalan kaki sebagai daya Tarik. Anak-anak, remaja, dewasa berbondong dan yang lapar mata untuk sekadar melihat atau bahkan membeli ‘keinginan’. Berbagai perilaku berseliweran, seperti perilaku membeli produk modern, perilaku membeli untuk mengurangi disonansi, perilaku yang terbiasa, atau perilaku mencari keragaman produk dan sebagainya. Perilaku-perilaku pembeli dapat mengarah ke ‘compulsive buying’, yaitu kognisi belanja yang berlebihan yang mengarah pada gangguan kepribadian. Ditemukan di seluruh dunia, gangguan ini memiliki prevalensi seumur hidup sebesar 5,8 persen pada populasi umum Amerika Serikat. Pemicunya, antara lain seseorang mengalami emosi kesepian, depresi, merasa tidak terkendali di area tertentu, dan berusaha mengeluarkan uang untuk menghilangkan stres. Keadilan karena pemenuhan ‘keinginan’ bukan ‘kebutuhan’ tidak bisa disalahkan siapa-siapa kecuali diri sendiri. Menurut Black dkk, 2012, pembelian kompulsif memiliki konsekuensi pribadi yang sangat berbahaya (stres, depresi, kecemasan, harga diri yang lebih rendah, rasa bersalah), sosial (kritik, rasa malu, perilaku bersembunyi, konflik keluarga, masalah kriminal, masalah hukum) dan keuangan (utang, ketidakmampuan untuk memenuhi pembayaran) konsekuensi. 7
1
Komentar