Kesenian Klasik Genggong Kocok Perut Penonton PKB
DENPASAR, NusaBali - Atraksi kesenian rakyat genggong persembahan Sanggar Tri Pusaka Sakti, Desa Batuan, Gianyar mengundang gelak tawa penonton di Panggung Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVI, Selasa (25/6).
Genggong, sebuah alat musik terbuat dari bambu yang dibunyikan dengan mendekatkan rongga mulut itu, mengeluarkan bunyi seperti suara enggung atau katak besar yang saling bersahutan.
Iringan genggong ini didukung seperangkat gamelan geguntangan, kendang, suling, kempul, cengceng tampil apik dan padu saat mengiringi tarian dan cerita rakyat di Kalangan Ratna Kanda, Taman Budaya Provinsi Bali. Diawali dengan tabuh petegak, kemudian disajikan sebuah tari penyambutan, sanggar yang dibina maestro topeng I Made Djimat ini membawakan cerita Jenggala dan Daha dari abad ke-10 dan ke-11 Kerajaan Hindu Jawa Timur yang terkenal.
Tokoh Godogan dimainkan apik, dengan tingkah lucu, imut dan mampu membuat suasana cair. Bahkan, pemain godogan sesekali mengajak penonton ke panggung. Di antaranya ada seorang bule yang diajak menari dan diminta mencium pipi Godogan. Tak pelak, membuat riuh penonton yang memadati panggung sebelah selatan Ardha Candra itu.
Tokoh Godogan yang berhasil kocok perut penonton dengan aksi kocaknya. -YUDA
Cerita Godogan memang tak asing dalam sajian pementasan kesenian arja klasik di Bali. Tokoh ini dikenal lekat dengan penikmat seni sejak dulu, khususnya dalam pementasan seni godogan dalam arja maupun drama gong. Ceritanya ada seorang Pangeran Jenggala di masa kecil yang sangat gemar menangkap capung atau ngonang. Pada suatu ketika Pangeran Jenggala mengejar capung hingga teramat jauh dan menghilang di kaki Gunung Kelud. Beberapa tahun kemudian muncullah seekor katak besar (Godogan) yang diyakini sebagai penjelmaan pangeran yang hilang bernama Wanong Sari.
Lanjut, suatu hari beranjak dewasa Wanong Sari bertemu dengan seorang putri dari Kerajaan Daha yang kecantikannya membuatnya terpesona. Dia pun jatuh cinta akan tetapi Raja Daha hanya bersedia menikahkan putrinya jika Wanong Sari bisa melalui persyaratan yang diberikan oleh Sang Raja. Sangat mengejutkan Wanong Sari dapat melewati persyaratan tersebut.
Ia kemudian masuk ke dalam fase pertapaan guna merubah wujudnya kembali menjadi manusia, dan atas karunia Dewa Wisnu melalui manifestasinya ia kembali menjadi pemuda tampan yang menyerupai pangeran Jenggala yang lama hilang. Akhirnya mereka menikah dan hidup bahagia di Kerajaan Kahuripan, yaitu nama baru dari Kerajaan Jenggala. I Gede Agus Hendra Arta Dinata, mewakili sanggar mengungkapkan proses latihan dilakukan kurang lebih 2 bulan. Ia bersyukur bisa menyajikan kesenian klasik kerakyatan genggong di panggung PKB tahun ini. Di mana kesenian ini sangat langka dan telah eksis sejak lama, sekitar abad ke 15. “Ini sebuah kebanggaan saya sebagai generasi muda, dengan melibatkan generasi anak-anak dan remaja di lingkungan Desa Batuan, kita masih bisa melestarikan kesenian rakyat ini,” ungkap Agus Hendra yang juga cucu dari maestro I Made Djimat itu.
Sebagai pionir, Agus yakin kesenian ini akan tetap lestari dan terdepan dengan tentunya mendapat pendampingan dari para senior kesenian genggong. “Saya yakin dengan didorong rasa antusias yang sangat tinggi dari anak-anak, para senior juga memiliki semangat yang sama, kesenian klasik ini akan tetap eksis di Bali khususnya di Batuan,” pungkasnya. 7 a
Komentar