Catatan dari Kriyaloka (Lokakarya) Seni Rupa ‘Karya I Gusti Nyoman Lempad’ PKB XLVI
Dedikasi Sang Maestro yang Berbuah Kemasyhuran
Empat jari Gusti Nyoman Lempad punya kuku sepanjang 12 cm, kalau sedang tidak ada ide, dia tinggal menjentik-jentikkan jemarinya dan langsung muncul ide
DENPASAR, NusaBali
Pagi buta itu I Gusti Ketut Mayukan mengajak anaknya I Gusti Nyoman Lempad singgah di rumah salah satu sahabatnya I Manikan. Ia rencananya menghadap Raja Blahbatuh karena mendapat panggilan. Betapa kagetnya Gusti Mayukan mendapat kabar dari I Manikan bahwa ia hendak dibuang ke tengah laut oleh raja. Seseorang telah memfitnah dirinya di hadapan raja sehingga menganggapnya sebagai ancaman.
Itulah kisah tragis maestro seni rupa I Gusti Nyoman Lempad bersama ayahnya saat usianya menginjak 12 tahun. Mengetahui kabar dari I Manikan tersebut, ia bersama ayahnya kemudian pindah dan untuk seterusnya mengabdi untuk Kerajaan Ubud dan mencapai kemasyhuran sebagai seorang perupa. “Hanya berbekal sirih yang diberikan I Manikan, Gusti Mayukan segera pergi,” cerita I Gusti Nyoman Darta salah satu cucu I Gusti Nyoman Lempad saat Kriyaloka (Lokakarya) Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVI di Kalangan Angsoka, Taman Budaya Provinsi Bali (Art Center) Denpasar, Kamis (27/6).
I Gusti Nyoman Lempad -IST
Gusti Darta menceritakan, Gusti Nyoman Lempad lahir pada tahun 1862 di Desa Bedahulu yang masuk wilayah Kerajaan Blahbatuh saat itu. Ayahnya seorang petani sekaligus undagi (perancang bangunan) bernama I Gusti Ketut Mayukan. Di Kerajaan Ubud kepiawaian Gusti Mayukan dan anaknya Gusti Nyoman Lempad dalam merancang bangunan mendapat apresiasi tinggi dari pihak puri. Bangunan-bangunan yang berdiri kokoh di Puri Ubud saat ini merupakan hasil karya keduanya.
Atas jasa mereka, Puri Ubud memberikan sebidang tanah untuk ditinggali Gusti Mayukan dan keluarganya yang hingga kini ditempati salah satu keturunannya, yakni di Jalan Raya Ubud, Banjar Taman Kelod, Kelurahan Ubud, Gianyar. Beranjak dewasa, Gusti Nyoman Lempad memutuskan melepas masa lajang dan menikah dengan Gusti Nyoman Dapet, namun tidak dikaruniai anak. Ia akhirnya menikahi adik istrinya tersebut Gusti Rai Tindih dan akhirnya dikarunia 6 orang anak.
“Itu atas saran Gusti Nyoman Dapet sendiri,” ucap Gusti Darta. Cerita berlanjut dengan pertemuan Lempad dengan pelukis Jerman Walter Spies sekitar tahun 1925. Spies pada akhirnya yang memperkenalkan teknik anatomi tubuh yang digunakan Lempad untuk mengembangkan karya-karya lukisnya yang banyak mengambil cerita pewayangan.
Lempad belajar banyak cerita pewayangan karena sering mengikuti kegiatan pembacaan lontar di Puri Saren Kauh. Lempad yang buta huruf selalu mengajak Gusti Darta untuk mengartikan lontar-lontar yang dibaca para pendeta yang datang. Lukisan Pan Brayut yang memiliki banyak anak adalah salah satu lukisan yang paling sering dilukis Lempad.
“Cerita kakek kenapa beliau sangat suka melukis Pan Brayut karena anak adalah anugerah paling berharga,” kata Gusti Darta. Setelah dekat dengan Walter Spies, beberapa tahun kemudian datanglah pelukis Belanda Rudolf Bonnet. Bersama Raja Ubud Ida Tjokorda Gde Agung Sukawati dan Walter Spies mereka membentuk komunitas seniman Pitamaha. Lempad pula yang kemudian mendesain museum untuk memamerkan lukisan-lukisan pelukis Pitamaha yang sekarang bernama Museum Puri Lukisan di Ubud.
Meski ada pengaruh gaya lukis barat seperti anatomi tubuh dan komposisi warna, menurut Gusti Darta kakeknya tetap kukuh dengan gayanya menggunakan tiga warna saja dalam lukisannya, yakni hitam, putih, dan merah yang merupakan warna filosofis Brahma, Wisnu, Siwa.
Gusti Nyoman Lempad merupakan tipe seniman yang kalau sudah bekerja sangat fokus. Jika sedang baik mood-nya satu gambar bisa selesai dalam tiga hari, tapi kalau sedang tidak mood satu bulan belum tentu selesai. Metode kerjanya, seperti yang diingat Nyoman Darta adalah membuat sketsa kemudian ditinggalkan selama tiga hari. Jika menemukan sesuatu yang kurang maka sketsa tersebut akan diperbaiki, sebelum lanjut ke tahap berikutnya.
“Kalau kamu belajar tidak perlu datang ke rumah kakek, cukup di rumah sendiri, tapi siapkan alat-alat yang baik,” ujar Gusti Darta menirukan ucapan Sang Kakek.
Gusti Nyoman Lempad meninggal dunia tahun 1978 pada usia 116 tahun. Ia dikenal sebagai seniman yang produktif hingga usia sepuh. Karya-karyanya tersebar di museum-museum di dalam maupun luar negeri, salah satunya Rijksmuseum di Belanda. Tahun-tahun menjelang wafat ia habiskan untuk terus berkarya. Salah satunya merancang bade setinggi 30 meter untuk Ida Cokorda Ngurah salah satu bangsawan Puri Ubud yang jadi sahabat dekatnya.
“Kakek sampai tua sekali tetap melukis. Empat jarinya punya kuku sepanjang 12 centimeter. Kalau sedang tidak ada ide, beliau tinggal menjentik-jentikkan jemarinya langsung muncul ide,” ungkap Gusti Darta sedikit terharu.
Kisah berpulangnya Gusti Nyoman Lempad juga diungkap Gusti Darta sebagai satu hal yang menarik. Pada hari kematiannya, seperti biasa Gusti Nyoman Lempad bertutur kepada anak dan cucu. Namun ia seakan sudah tahun hari kematiannya. Gusti Nyoman Lempad meminta keluarganya melakukan persembahyangan di merajan dan memandikannya. “Kakek bilang kalau ia akan meninggal sebelum jam 12 siang, katanya supaya tidak kepanasan menuju surga,” cerita Nyoman Darta. 7 a
Komentar