Pergelaran Seni Kekebyaran Mengenang Kreativitas Maestro Wayan Rindi di PKB XLVI
Mengisahkan Kembali Karya Maestro Kepada Generasi Muda
Pementasan karya-karya seniman zaman dulu sebagai sebuah bentuk pelestarian, namun mesti disiapkan dengan penelitian serius, sehingga nuansa khasnya terlihat
DENPASAR, NusaBali
Rekasadana (pergelaran) Seni Kekebyaran karya Maestro I Wayan Rindi dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVI di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali (Art Center) Denpasar, Sabtu (29/6) sore diminati pengunjung. Tempat pementasan yang berkapasitas sekitar 400 orang penuh dengan pasang mata.
Bahkan, sebagian penonton harus rela menunggu di luar gedung hanya untuk mendengar cerita dari sahabat, saudara tentang suasana pementasan yang memang unik dan menarik itu. Karya-karya I Wayan Rindi yang disajikan malam itu, seperti Tari Pendet, Legong Bapang Durga, Baris Kekupu dan Topeng Arsa Wijaya. Semua tari ini disajikan dalam bentuk yang sesungguhnya.
Tari-tarian yang mulai dipergelarkan pukul 17.00 Wita itu diiringi oleh Sekaa Gong Sad Guna, Banjar Lebah, Desa Sumerta Kaja, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar. Dalam sajian ini, iringan gamelan disajikan secara lengkap, bahkan melibatkan penabuh wanita. Saking membeludaknya penonton, pecalang pun ikut menjaga pintu masuk stage.
Sebelum penampilan Tari Topeng Arsa Wijaya, diisi dengan kisah Wayan Rindi yang sedang melatih menari anak-anak Banjar Lebah di era 1950-an hingga 1970-an. Wayan Rindi yang meninggal dunia pada tahun 1976 diperankan oleh seniman Ketut Sutapa. Kurator PKB, Prof Dr I Wayan Dibia SST MA mengatakan karya-karya maestro Bali sejak dulu harus ada yang ditampilkan seperti ini. Sebab, cara ini sekaligus sebagai upaya menelusuri perjalanan para maestro di Bali.
“Anak-anak sekarang itu nggak tahu, siapa itu Pak Rindi, Pak Kaler, Pak Beratha dan lainnya. Tanpa ditampilkan dengan acara, mereka tidak akan tahu. Maka acara ini penting sekali,” ucapnya.
Pada PKB tahun depan, jangan hanya satu maestro saja, tetapi ada beberapa lagi lainnya. Dengan begitu, masyarakat akan betul-betul bisa mengenang karya-karya seni serta tokoh seni itu sendiri. Tinggal sekarang, informasinya yang disajikan lebih lengkap. “Sebab, saat penari menari Topeng Arsa Wijaya mesti disebutkan Rindi pernah menjuarai Topeng Arsa Wijaya. Beliau sebagai Juara I pada Festival Galiran Klungkung yang ketika itu bergabung dengan Sekaa Gong Sad Merta,” ungkap budayawan asal Gianyar ini.
Itu salah satu momen penting dan bersejarah. Sebab, saat itu Pak Rindi yang memulai gamelam Arsa Wijaya dengan model Luk Ngewilet, berbeda dari biasanya yang paceriring. Apa-apa yang menjadi kekhasan Pak Rindi mesti dilengkapi, sehingga orang mengetahuinya. “Wayan Rindi yang memulai iringan Arsa Wijaya dengan tabuh Luk Ngewilet itu. Kalau, gaya Gianyar itu paceriring,” ucap Prof Dibia.
Pementasan karya-karya para seniman zaman dulu sebagai sebuah bentuk pelestarian, namun mesti disiapkan dengan penelitian yang lebih serius, sehingga nuansa-nuansa yang khas yang dimiliki sang maestro itu kelihatan. “Pak Sutapa yang tadi memerankan Wayan Rindi, lupa satu hal bahwa beliau (Wayan Rindi) itu perokok. Meski sedang melatih, rokok itu tak pernah lepas. Bahkan, sambil nyeregseg, rokoknya masih di bibir,” kenangnya.
Kalau masyarakat umum yang menyaksikan karya-karya Wayan Rindi sebagai sebuah kerinduan, maka bagi para pelaku seni, seniman muda bisa saja memetik gaya-gaya Rindi serta original kualitas karya. Pada Tari Topeng Arsa Wijaya misalnya, ada gerak nyambir yang tak seperti biasanya. “Gerak nyambir gaya Rindi itu berbeda dengan khas Gianyar atau khas Pedungan (Denpasar). Hal-hal itu berbeda sedikit, tetapi bermakna. Itu menunjukkan gaya seniman-seniman yang ada,” paparnya.
Hal senada juga dikatakan Kurator PKB Prof I Made Bandem yang menegaskan, acara pergelaran semacam ini mesti terus dilakukan. Bali banyak memiliki maestro-maestro seni tari Bali. Salah satu di antaranya Wayan Rindi salah seorang maestro tari yang sangat mumpuni. Prof Bandem mengungkapkan, maestro Wayan Rindi juga sempat bekerja di RRI Denpasar. Mengawali sebagai penari legong sebelum menggeluti tari topeng. “Pada zaman itu Pak Rindi sering menari dengan Bu Reneng, Ibu Sadru, Cawan termasuk juga bersama Ibu Polok,” ungkap Prof Bandem.
“Kita harus mampu mengisahkan kembali kepada generasi muda. Salah satu di antaranya mementaskan karya-karya seorang maestro dalam sebuah event, seperti PKB ini. Generasi muda sangat penting mengetahuinya. Karena tarian itu berevolusi, maka ia berubah. Nah, kalau kita kembali pada bentuk aslinya, walau tak sepenuhnya itu akan bermanfaat,” pesan Prof Bandem. 7 a
1
Komentar