nusabali

Kebijakan Impor Dinilai Belum Efektif Turunkan Harga Beras

  • www.nusabali.com-kebijakan-impor-dinilai-belum-efektif-turunkan-harga-beras

JAKARTA, NusaBali - Ketua Koperasi Pasar Induk Beras Cipinang (KKPIBC), Zulkifli Rasyid, menilai kebijakan impor belum efektif menurunkan harga beras di pasar. Sebaliknya, harga pangan paling pokok ini justru mengalami kenaikan sejak beberapa bulan terakhir.

"Di (Pasar Induk) Cipinang, posisi harga bulai Mei untuk beras medium Rp 11.500-12.500 per kilogram. Awal Juni sampai sekarang beras medium sudah naik jadi Rp 13.000-13.500," ungkap Zulkifli seperti dilansir kompas.com, pada Minggu (30/6).

Ia menilai, kebijakan importasi efektif harga beras di pasaran. Ini karena sebagian besar beras impor masih menumpuk di gudang Perum Bulog sebagai cadangan beras pemerintah (CBP).

Yang terjadi belakangan ini, sambung dia, harga beras justru mengalami kenaikan. Kondisi ini terjadi karena adanya penurunan produksi di sejumlah daerah sentra produksi gabah.

"Impor sampai detik ini belum ada realisasi dikeluarkan dari cadangan beras pemerintah. Ada sedikit masukan (stok beras) dari daerah yang berkurang. Harga (beras) naik terjadi karena pasokan kurang, permintaan beras sedang tinggi," beber pedagang beras skala besar ini.

Sebagai informasi saja, pemerintah berencana mengimpor 5,15 juta ton beras pada tahun ini untuk menambal penurunan produksi beras yang diperkirakan cukup signifikan. Kuota impor beras tersebut bertambah dari yang sebelumnya ditetapkan pemerintah sebesar 3,6 juta ton.

Menurut data dari Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengatakan, realisasi impor beras pada Januari-April 2024 sebanyak 1,77 juta ton. Lalu pada Mei-Desember 2024, pemerintah melalui Perum Bulog berencana melakukan impor beras 3,4 juta ton berdasarkan hasil rapat koordinasi terbatas. Impor dilakukan untuk mengantisipasi anjloknya produksi gabah nasional.

Zulkifli berujar, ada beberapa penyebab produksi padi mengalami penurunan. Pertama susutnya produksi gabah terjadi akibat anomali el nino yang memicu kemarau panjang. Masalah kedua, lanjut dia, adalah menyusutnya lahan tanam padi akibat pembangunan infrastruktur hingga alih fungsi sawah menjadi area permukiman dan industri.

"Problem jelas, setiap tahun lahan kita terkikis dijadikan jalan, dijadikan bangunan, dijadikan jalan tol, semua lahan (sawah) kita setiap saat berkurang. Sementara penduduk kita terus bertambah," beber Zulkifli.

Dia juga meragukan klaim Kementerian Pertanian yang menyebut produksi beras di dalam negeri selalu surplus. Kenyataannya di lapangan, harga beras naik akibat pasokan yang seret.

"Jangankan (Presiden) Jokowi. (Era) Soeharto saja harapan swasembada beras tidak sesuai yang diharapkan. Dari tahun 2017 Amran Sulaiman (Menteri Pertanian) ngomong begitu (surplus), tapi kenyatannya (stok beras) kurang," ucap Zulkifli.

Sementara itu Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi), Sutarto Alimoeso, mengungkapkan data surplus yang dirilis Kementerian Pertanian memang tak bisa jadi tolak ukur pasokan beras nasional secara riil.

"Kalau bicara surplus atau tidak, hitungannya berapa (gabah) yang diproduksi kemudian jadi beras. Kalau berdasarkan data yang lalu-lalu, itu masih ada surplus, tapi tipis sekali dan itu kan masih data. Pertanyaannya bagaimana kenyataannya di lapangan," ucap Soetarto. 7

Komentar