KPU Bali: Baliho Tidak Mendidik, Masyarakat Mengiyakan
DENPASAR, NusaBali.com - KPU Provinsi Bali semakin yakin merealisasikan konsensus bersama peserta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 di Pulau Dewata untuk meniadakan atribut kampanye tidak ramah lingkungan seperti baliho.
Ketua KPU Bali I Dewa Agung Gede Lidartawan menegaskan, memang pemakaian baliho tidak dilarang UU dan PKPU. Akan tetapi, pengadaan dan pemasangan baliho atau atribut kampanye berbahan plastik ini kontraproduktif dengan upaya Bali mengurangi timbulan sampah plastik.
Kata Lidartawan, Peraturan Gubernur (Pergub) Bali Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai bisa menjadi rujukan konsensus ini. Baliho sendiri pun tergolong sampah plastik sekali pakai karena bekas pemakaiannya tidak terdaur ulang dan masih saja menumpuk di Kantor Satpol PP pasca penertiban.
"Kami sudah kewalahan dengan bekas baliho dari Pemilu 2024 lalu. Sudah ditumpuk di Kantor Satpol PP tapi belum bisa diproses ke mana-mana. Sementara, di Bali ini sedang darurat penanganan sampah," ujar Lidartawan ketika ditemui di sela peluncuran maskot dan jingle Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) Bali di Taman Budaya Bali (Art Centre), Denpasar, Jumat (5/7/2024) malam.
Lidartawan meyakini masyarakat pun sudah bosan dan muak terhadap pemakaian baliho karena dinilai tidak mendidik. Sebab, tidak jelas visi, misi, dan program yang ditawarkan kandidat yang wajahnya terpampang di baliho. Padahal, sudah tersedia media kampanye yang murah meriah dan jangkauannya lebih luas yakni media sosial (medsos).
"Kenapa tidak bikin video pendek saja untuk dikirim ke masyarakat (melalui medsos). Supaya masyarakat tahu mengapa mereka layak dipilih sehingga bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat," jelas Lidartawan yang juga mantan Ketua KPU Kabupaten Bangli dua periode ini.
Pada Jumat malam saat memberikan sambutan di acara peluncuran maskot dan jingle Pilgub Bali, Lidartawan berinteraksi dengan masyarakat yang menghadiri acara. "Bapak/Ibu masih suka tidak dipasangi baliho?" tanya Lidartawan yang dibalas seruan 'tidak' oleh para penonton.
Lalu apa sanksinya jika konsensus dilanggar? "Kami akan bikin kesepakatan, mana yang dilanggar, sanksinya apa. Bisa jadi kami umumkan di media massa bahwa kandidat ini telah melanggar kesepakatan, tidak peduli lingkungan. Rugi dia pasang baliho sedangkan masyarakat sudah tidak mau pilih," tegas Lidartawan.
KPU Bali memastikan, konsensus ini tidak akan sekadar lisan atau imbauan saja, melainkan kesepakatan tertulis dan ditandatangani. Jika di kemudian hari dilanggar dan muncul alasan bahwa yang memasang baliho adalah konstituen mereka maka akan menjadi tanda tanya besar terhadap kapabilitas kepemimpinan sang kandidat.
"Lho, ngurus konstituennya saja tidak bisa apalagi mengurusi bangsa dan negara ini. Dia tidak dipercaya konstituennya bagaimana mau jadi pemimpin. Bisa diuji mulai dari sini," beber Lidartawan.
Masyarakat juga dinilai bisa menilai sendiri bahwa Pergub yang sejalan dengan upaya peniadaan baliho ini sudah ada. Di tambah lagi akan ada kesepakatan tertulis. Tinggal masyarakat melihat, calon-calon pemimpin ke depan turut mengindahkan peraturan dan menjaga komitmen yang dibuat atau malah tetap tidak acuh. *rat
Kata Lidartawan, Peraturan Gubernur (Pergub) Bali Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai bisa menjadi rujukan konsensus ini. Baliho sendiri pun tergolong sampah plastik sekali pakai karena bekas pemakaiannya tidak terdaur ulang dan masih saja menumpuk di Kantor Satpol PP pasca penertiban.
"Kami sudah kewalahan dengan bekas baliho dari Pemilu 2024 lalu. Sudah ditumpuk di Kantor Satpol PP tapi belum bisa diproses ke mana-mana. Sementara, di Bali ini sedang darurat penanganan sampah," ujar Lidartawan ketika ditemui di sela peluncuran maskot dan jingle Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) Bali di Taman Budaya Bali (Art Centre), Denpasar, Jumat (5/7/2024) malam.
Lidartawan meyakini masyarakat pun sudah bosan dan muak terhadap pemakaian baliho karena dinilai tidak mendidik. Sebab, tidak jelas visi, misi, dan program yang ditawarkan kandidat yang wajahnya terpampang di baliho. Padahal, sudah tersedia media kampanye yang murah meriah dan jangkauannya lebih luas yakni media sosial (medsos).
"Kenapa tidak bikin video pendek saja untuk dikirim ke masyarakat (melalui medsos). Supaya masyarakat tahu mengapa mereka layak dipilih sehingga bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat," jelas Lidartawan yang juga mantan Ketua KPU Kabupaten Bangli dua periode ini.
Pada Jumat malam saat memberikan sambutan di acara peluncuran maskot dan jingle Pilgub Bali, Lidartawan berinteraksi dengan masyarakat yang menghadiri acara. "Bapak/Ibu masih suka tidak dipasangi baliho?" tanya Lidartawan yang dibalas seruan 'tidak' oleh para penonton.
Lalu apa sanksinya jika konsensus dilanggar? "Kami akan bikin kesepakatan, mana yang dilanggar, sanksinya apa. Bisa jadi kami umumkan di media massa bahwa kandidat ini telah melanggar kesepakatan, tidak peduli lingkungan. Rugi dia pasang baliho sedangkan masyarakat sudah tidak mau pilih," tegas Lidartawan.
KPU Bali memastikan, konsensus ini tidak akan sekadar lisan atau imbauan saja, melainkan kesepakatan tertulis dan ditandatangani. Jika di kemudian hari dilanggar dan muncul alasan bahwa yang memasang baliho adalah konstituen mereka maka akan menjadi tanda tanya besar terhadap kapabilitas kepemimpinan sang kandidat.
"Lho, ngurus konstituennya saja tidak bisa apalagi mengurusi bangsa dan negara ini. Dia tidak dipercaya konstituennya bagaimana mau jadi pemimpin. Bisa diuji mulai dari sini," beber Lidartawan.
Masyarakat juga dinilai bisa menilai sendiri bahwa Pergub yang sejalan dengan upaya peniadaan baliho ini sudah ada. Di tambah lagi akan ada kesepakatan tertulis. Tinggal masyarakat melihat, calon-calon pemimpin ke depan turut mengindahkan peraturan dan menjaga komitmen yang dibuat atau malah tetap tidak acuh. *rat
Komentar