nusabali

MUTIARA WEDA: Terkenal tapi Tak Terpuji

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-terkenal-tapi-tak-terpuji

ahiṃsā satyamasteyaṃ śaucamityādiguṇyaham, vāgdaṇḍyā teṣu naitāni kīrtayantyakṛtā dayā. (Nīti Śataka)

Ahimsa (tidak menyakiti), Satya (kebenaran), Asteya (tidak mencuri), Shaucha (kebersihan), dan sejenisnya adalah etika. Orang yang tidak mematuhi etika ini tidak mendapatkan pujian meskipun terkenal.

BERNIAT untuk terkenal tidak masalah, sebab ini adalah bentuk kegilaan yang membutuhkan ekspresi. Saat ini, media sosial memberikan kesempatan luas untuk terkenal. Banyak orang mendadak viral gara-gara facebook, instragram, twitter, youtube, dan yang lainnya. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang mendadak kaya karenanya. Mereka adalah para content creator, influencer, digital marketer, social media consultant, dan yang lainnya. Bahkan saat ini, setiap orang bisa menuliskan, mengabarkan, dan meng-upload apa saja di media sosial. Problemnya, mereka yang bermedia sosial berasal dari latar belakang yang beragam, baik secara pendidikan, umur, kesadaran, kepentingan, dan yang lainnya.

Akibatnya, banyak masalah hadir; hoaks, intoleransi, cyber bullying, ketergantungan, gangguan mental, filter bubble, keamanan cyber, dan yang lainnya. Namun, sesungguhnya, sebagian besar orang bermedia sosial tujuannya narsis. Keinginan untuk terkenal adalah fondasinya. Publikasi diri menyebabkan sosial media menjadi magnet tak terbendung. Banyak upaya yang mereka lakukan agar tampak eksis, kadang di luar garis etik. Ekspresi kegilaan ini kadang membunuh urat malu, melampaui batas kewajaran. Belum lagi perilaku orang yang berupaya mengumpulkan rupiah dari sosial media, mereka bisa melakukan apa saja. 

Kondisi ini tentu mengkhawatirkan banyak pihak: pendidikan, masyarakat, orangtua, anak-anak, dan individu pengguna. Untuk ini, mungkin teks di atas bisa dijadikan renungan bagi semua pengguna media sosial. Terkenal tidak selalu berkorelasi dengan pujian. Orang viral di sosial media bukan karena perilaku terpuji. Sebagian besar viral oleh karena hal-hal negatif. Orang menjadi terkenal di media sosial sebagian besar karena cemoohan, perilaku negatif, tidak terpuji. Berdasarkan pengalaman, hal-hal yang nyeleneh, asusila, propaganda, hoaks akan cepat menyebar di media sosial. Orang yang diviralkan pun mendadak terkenal, namun dikenal negatif. Ini yang terjadi. Sehingga, teks di atas memberikan guideline. Mengekspresikan kegilaan adalah alami sifat manusia, tetapi mesti harus dalam koridor etis. Biarkan keterkenalan itu mulia, terpuji.
 
Namun, terkenal dan terpuji itu susah. Perlu upaya konsisten dan tidak kenal lelah. Mengenalkan diri dalam kemuliaan itu berat. Ketika kita meng-upload hal-hal positif, sedikit sekali yang melihat. Mungkin yang melihat hanya itu-itu saja. Apalagi dengan system algoritme filter bubble, kita hanya disuguhkan dengan hal-hal senada. Dalam banyak kasus, banyak orang yang mendadak viral dengan cibiran di media sosial padahal sebenarnya tidak demikian. Hoaks membuat banyak orang mendadak negatif di sosial media. Mengapa sebagian besar orang terkenal di media sosial oleh karena viral dengan cibiran? 

Pertama, orang lebih suka mendengar atau membaca berita buruk. Orang senang mendengar keburukan atau kemalangan orang lain dibandingkan kebaikan atau keberuntungannya. Bahkan tidak sedikit orang iri terhadap kesuksesan temannya. Makanya, dari konteks media, bagi jurnalis profesional, berita buruk adalah berita baik, lebih dibaca. Ini adalah nature manusia, sehingga orang lebih suka memviralkan berita buruk orang. Jika ada berita tentang perselingkuhan, kekerasan, kekonyolan, dan sejenisnya akan segera viral. Sehingga, hal ini menambah persentase sisi kelam sosial media. Belum lagi orang-orang yang memanfaatkan keuntungan dari sifat alami ini dengan membuat konten-konten yang konyol dan tidak mendidik untuk mendongkrak follower. Kehadiran sosial media ini tidak serta-merta membuat orang menjadi lebih terdidik, lebih cerdas. 

Kedua, orang lebih suka meng-upload hal-hal yang konyol. Sebagian besar orang bersosial media bukan untuk memperoleh informasi yang positif, melainkan sekadar menghibur, dan yang membuat mereka terhibur adalah konten-konten konyol, bukan mendidik. Dalam membuat konten konyol, orang kadang melampaui kode etik masyarakat. Orang-orang suka dengan model konten begini. Mereka segera men-share dan membuat konten ini viral. Mereka menjadi lebih terhibur jika konten itu mendapat tanggapan negatif. Jadi, seperti inilah model hiburan sebagian besar orang, sehingga siapapun yang berupaya membuat konten mendidik, lebih filosofis pasti sepi peminat. Jarang orang viral di media sosial penuh pujian. 7

I Gede Suwantana
Direktur Bali Vedanta Institute

Komentar