Hanya di PKB
BALI punya seni pertunjukan yang bisa disaksikan di sembarang tempat, di setiap waktu.
Ada pula kesenian yang cuma muncul sekali-sekali, di tempat khusus, dan dilarang dibawa ke mana pun. Jika berniat menyaksikan seni pentas itu, harus menunggu saat tepat, dan tempat yang pasti. Muncullah seni sakral dan profan. Yang sakral, seperti tari Rejang Dewa, cuma bisa dipentaskan ketika piodalan. Jika digelar untuk turis, orang Bali pasti marah besar. Penarinya pun bisa dikutuk habis-habisan.
Karena banyak seni sakral yang menarik, dan bagus ditonton buat wisatawan, akal pun dikembangkan. Tari Cak, tari Sanghyang, misalnya, dulu sakral, penuh dengan gending-gending mistis, indah, membuat bulu kuduk penonton merinding, dan bisa membuat penarinya kesurupan, lantas diakali. Tari Cak dikemas, bisa dipertunjukkan di mana saja, kapan saja, dengan harga berapa pun. Tari ini bahkan diakali untuk bisa masuk dalam perburuan rekor jumlah penari.
Tapi, belakangan tidak cuma seni pertunjukan sakral yang bisa disaksikan sewaktu-waktu, beberapa seni profan pun hanya bisa ditonton setahun sekali. Penonton harus datang ke Taman Budaya Bali di Denpasar, berdesak-desak dalam Pesta Kesenian Bali (PKB). Di ajang pesta seni tahunan itu, misalnya, digelar arja anak-anak. Artinya, arja yang penarinya anak-anak, tapi berpakaian orang dewasa, dengan cerita tentang kehidupan orang dewasa pula. Arja anak-anak ini hanya bisa disaksikan di PKB. Jika PKB usai, tak pernah lagi arja itu dipentaskan.
Gambuh, nasibnya sama, cuma bisa disaksikan di PKB. Apalagi gambuh anak-anak, tak bakalan bisa ditonton selepas PKB. Jika dirunut, tak sedikit seni pertunjukan hanya muncul dalam PKB. Belakangan, bahkan kian banyak orang Bali bergiat seni cuma di PKB. Seolah-olah PKB itu tujuan, bukan sebuah cara untuk menghidupkan kesenian. Ini mirip dengan anak sekolahan yang belajar cuma ketika ulangan atau ujian, agar bapak-ibu tidak marah, bisa naik kelas, dapat ijazah.
Tidak hanya seni pertunjukan yang cuma muncul di PKB, juga lomba makanan Bali, seperti lomba membuat rujak air, dengan peserta ibu-ibu PKK kabupaten se–Bali. Karena yang berlomba ibu PKK, pemenangnya tentu juga ibu PKK. Karena mereka ibu PKK, sudah pasti mereka istri pejabat, seperti istri kepala dinas, kepala bagian, kepala biro, kepala daerah. Istri-istri pejabat ini jelas bukan pedagang rujak. Artinya, mereka bikin rujak yang sangat enak itu hanya di PKB. Entahlah, apakah mereka juga mengolah rujak di rumah untuk anak-anak dan suami mereka.
Tentu beda jadinya jika yang berlomba itu benar-benar pedagang rujak yang mudah dijumpai di pasar-pasar, di pinggir jalan, di warung-warung seantero Bali. Mereka pedagang profesional, kendati cuma menjual rujak. Jika para pedagang ini dilombakan, tentu rujak pemenang yang pasti enak itu tidak cuma nongol di PKB. Setelah berlomba di PKB pun mereka tetap jual rujak, karena dari hasil menjual rujak itu mereka hidup.
Kalau tiap kabupaten mengirim lima sampai sepuluh pedagang rujak profesional, wah, bisa terjadi Hari Rujak di Taman Budaya. Pemenang, tentu menerima hadiah, kalau bisa jumlahnya dibuat lumayan besar, setidaknya tampil sepuluh terbaik. Uang yang mereka terima dapat dimanfaatkan membeli taplak meja baru, atau membenahi warung yang bocor. Pesta kesenian jadi festival rujak, berkembang menjadi pesta ekonomi kerakyatan, dengan asas pemerataan, berhadiah uang dalam jumlah mengesankan.
Bagaimana mengupayakan seni pertunjukan tidak hanya tampil di PKB, bisa ditiru langkah yang diambil sekaa gamelan Sekar Jaya dari Amerika Serikat. Sekaa ini sudah berkali-kali tampil di PKB. Datang jauh-jauh dari negeri Paman Sam, mereka juga tampil ke desa-desa yang menjadi legenda dan pusat perkembangan seni gamelan gong kebyar. Mereka pentas di Saba, Gianyar, atau di Tejakaula, Buleleng. Awal berdiri, seputar tahun 1987, sekaa ini pernah tampil di Banjar Kalah, Ubud. Mereka pilih tempat-tempat ini sekalian untuk menyerap gaya gong kebyar yang berbeda dari desa-desa itu.
Jika banyak uang sudah dikeluarkan untuk PKB, sepantasnya diupayakan pula dana untuk kegiatan kesenian selepas PKB. Libur semesteran, gambuh dan arja anak-anak itu bisa dibawa pentas keliling Bali, ditonton oleh siswa-siswa yang bergiat dalam pasraman, misalnya. 7
Komentar