Fenomena Upacara Mayuh Oton Massal di Griya
Boleh Saja, Konsep Bali disebut Kinembulan
GIANYAR, NusaBali - Umat Hindu di Bali belakangan ini makin marak menggelar ritual upacara keagamaan khususnya Manusa Yadnya baik secara pribadi maupun massal di griya.
Model berupacara ini makin fenomenal terutama dari sisi efisiensi waktu, tenaga, dan biaya. Di lain sisi, ada sebagian umat sedharma yang merasa kurang sreg berupacara secara massal di griya, terutama upacara Mabayuh Oton.
Menanggapi hal itu, Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda mengungkapkan bahwa pelaksanaan yadnya secara massal sah-sah saja yang di Bali disebut dengan istilah kinembulan. "Jadi memang ada itu, baik upacara Pitra Yadnya, upacara manusa Yadnya," jelas Ida Pandita saat ditemui di Griya Mumbul Sari, Desa Serongga, Kecamatan Gianyar, Kamis (4/7).
Mengapa orang melakukan bersama-sama, menurut Ida Pandita, selain untuk membangun solidaritas, kemungkinan yang lain karena memang sudah ada pergeseran. Ketika dulu, ritual di Bali itu basisnya pertanian. Semuanya menggunakan hasil bumi yang sesungguhnya tidak jauh dari lingkungan sekitar. "Sekarang kita sudah berada di dunia industri. Saat waktu itu menjadi sangat penting. Akibatnya, kita seolah kekurangan waktu untuk bisa ngumpul bersama-sama," ungkapnya.
Dulu agama pertanian, umat turun ke sawah bersama-sama, musim panen bersama-sama, waktu lowong juga bersama-sama. Sekarang ini waktu yang sempit, kalau dikerjakan di rumah masing-masing biayanya tinggi. Di samping itu, sekarang dengan banyaknya orang bekerja di sektor pariwisata dan sektor jasa, waktu menjadi sangat mahal. "Jadi dengan demikian mulai pola pikir industri, efektif efisien ekonomis praktis. Tetapi bagi saya esensi yang tidak boleh hilang. Kalau cara boleh saja, sepanjang cara itu baik dan benar," tegasnya.
Baik dan benar dalam artian membeli upakara di tempat upacara yang tepat sehingga bisa memberikan multiplayer efek yakni menghidupi umat sekitar. "Kita nggak bisa buat, yang lain buat, kita beli berarti kita memberikan pemerataan penghasilan dengan catatan jangan sampai mengurangi tetandingan supaya harganya murah," ujar Ida Pandita kelahiran 5 Mei 1966 ini.
Prosesi Mabayuh Oton massal di Taman Prakerti Bhuana, Kelurahan Beng, Kecamatan Gianyar. –IST
Oleh karena itu, tak bisa dipungkiri banyak bermunculan tempat penjualan banten sekaligus penyewaan tempat upacara. "Karena kan umat mau praktis," ujarnya. Maka dari itu, sah-sah saja suatu prosesi upacara baik itu pawiwahan, matatah, mabayuh oton digelar di griya. Efisiensi yang dimaksud yakni pada banten ke Dewa dan ke Butha bisa bersama-sama, namun banten personal disiapkan untuk masing-masing individu. "Kalau bayuh oton itu bisa massal ketika otonnya sama. Hari yang sama, wuku yang sama. Tapi ingat di situ bukan hanya yang diupacarai saja yang akan dapat energi positif, tetapi juga Ida Bhatara Hyang Guru. Karena setiap orang walau sama oton, secara leluhur geneologis berbeda," terangnya.
Ditanya apakah mebayuh oton bisa dilakukan di griya? Menurut Ida Pandita bahwa sanggah/merajan maupun griya itu sama-sama mandala suci. "Kan bisa menghadirkan Bhatara Hyang Guru di griya. Dalam konsep Bali itu disebut nyawang. Bisa itu, fleksible," tegasnya.
Hal senada diungkapkan Ketua PHDI Kabupaten Gianyar I Wayan Ardana. Kata dia, upacara massal yang banyak dilaksanakan oleh umat Hindu difasilitasi oleh yayasan, pasraman atau desa adat seperti contoh, ngaben masal, nyekah, metatah dan lain sebagainya, telah terbukti sangat membantu meringan beban masyarakat. "Dengan catatan Yadnya yang dilaksanakan dilandasi tiga kerangka dasar Agama, yaitu Tatwanya jelas, susila atau etika pelaksanaannya dan upacara atau upakaranya. Tentu juga didasari atas keyakinan atau sradha serta rasa tulus ikhlas beryadnya dan ini tidak merusak tradisi Adat," jelasnya.
Upacara massal ini juga sudah dilakukan dari zaman dulu contoh ngaben massal, nyekah masal ngiring di griya. "Tidak ada masalah. Jadi dapat disimpulkan upacara massal sangat membantu umat dan tidak ada merusak adat istiadat," imbuhnya.7nvi
1
Komentar