Menelisik Purana Pura Penataran Sari Pangsan, Lontar Geria Ambengan Berusia Puluhan Tahun Dibuka Lagi
Penyuluh Bahasa Bali Badung Bantu Proses Konservasi dan Katalogisasi
Di Geria Ambengan ditemukan puluhan cakep lontar yang tersimpan di merajan geria, lontar-lontar itu ditulis Ida Bagus Kompyang Kesian (Alm) di era tahun 1960-an
MANGUPURA, NusaBali
Sudah lama krama pangempon Pura Penataran Sari di Banjar Adat Pangsan Tengah, Desa Adat Pangsan, Kecamatan Petang, Badung penasaran dengan asal muasal berdirinya pura yang mereka sucikan. Selama ini, sejarah pura masih berupa hipotesis dan cerita yang belum terbukti keakuratannya.
Lantas krama pura dengan pangempon 53 kepala keluarga (KK) ini sepakat membentuk kepanitiaan penyusunan purana. Sejak sebulan lalu, kepanitiaan ini aktif bekerja mengumpulkan informasi. Namun, ditemui kendala besar, yakni tidak banyak sesepuh yang masih bertahan. Di samping itu, testimoni yang disampaikan pun berdasarkan ingatan dan bukan informasi tangan pertama.
"Kami ingin menyusun suatu purana guna memperoleh dasar yang pasti. Langkah lanjutannya kami mulai dari ahli waris, yaitu Geria Ambengan, setelah sebelumnya informasi yang terkumpul hanya berdasarkan cerita-cerita," tutur I Gusti Ngurah Made Subratha,69, Ketua Panitia Penyusunan Purana Pura Penataran Sari, ditemui Senin (15/7) di Pura Penataran Sari.
Di Geria Ambengan yang hanya berbatas tembok rendah dengan Pura Penataran Sari ditemukan puluhan cakep lontar yang tersimpan di merajan geria. Kata ahli waris Geria Ambengan Ida Bagus Putu Widia,62, lontar-lontar ini ditulis oleh sang paman Ida Bagus Kompyang Kesian (Alm) sekitar era tahun 1960-an ke belakang.
"Kebetulan, panglingsir (sesepuh) saya yang mendirikan pura ini dan ada yang menjadi kelihan (ketua) pura juga. Sebelumnya sudah tahu ada lontar di geria tapi tidak tahu apa saja yang dibahas di dalamnya. Siapa tahu, ada lontar yang menyinggung keberadaan Pura Penataran Sari," ungkap Gustu Widia, ditemui Senin siang di pura.
Kata orang yang dituakan di Geria Ambengan ini, IB Kompyang Kesian adalah putra dari Ida Bagus Giur (Alm) yang dipercaya sebagai penggagas pura. Gustu Widia sendiri adalah saksi hidup lantaran Gustu Widia muda adalah asisten sang paman saat penyuratan lontar. Ia membantu memanggang kemiri yang dipakai menghitamkan guratan aksara pada lontar.
Pada Soma Pon Sinta bertepatan Hari Suci Soma Ribek, Senin pagi, puluhan cakep lontar yang disimpan di merajan geria sejak IB Kompyang Kesian wafat tahun 1984 silam kembali dibuka. Puluhan cakep lontar itu dikotori debu dan termakan rayap. Ada yang kondisinya masih baik dan lengkap, ada pula yang hilang dimakan rayap, juga berantakan terlepas dari cakep lontar. Penyuluh Bahasa Bali Kabupaten Badung yang berjumlah 22 orang dan Dinas Kebudayaan (Disbud) Kabupaten Badung hadir membantu proses konservasi, Senin siang kemarin. Di luar proses konservasi lontar, penyuluh juga mengkatalogisasi atau meneliti isi lontar-lontar itu membahas apa saja. Termasuk, kemungkinan menyinggung asal usul Pura Penataran Sari.
Suasana di Pura Penataran Sari, Desa Adat Pangsan, Kecamatan Petang, Badung. –NGURAH RATNADI
Kepala Bidang Sejarah Disbud Badung, Ni Nyoman Indrawati mengungkapkan penyuluh menghadapi tantangan besar lantaran banyak cakep lontar yang rusak dan tercerai berai. Sehingga, diperlukan waktu menyusun kembali lontar yang terberai itu ke kelompok naskahnya masing-masing. "Kondisinya sangat tidak terawat. Satu (cakep) lontar itu tidak utuh dan tercerai berai sehingga perlu disusun ulang. Ini PR besar bagi penyuluh untuk menyisir satu-satu, yang mana punya yang mana," ungkap Indrawati, Senin siang.
Ahli waris Gustu Widia mengakui, lontar-lontar itu dirawat dengan baik ketika sang paman masih ada. Sejak kepergiannya tahun 1984 silam, lontar itu dipindahkan ke merajan dan disimpan di dalam kotak. Mulai kala itu, lontar-lontar warisan sesepuh Geria Ambengan itu tidak pernah dibuka dan dirawat semestinya.
"Ditengarai, hilangnya tali yang mengikat cakep lontar disebabkan oleh kepercayaan orang Bali bahwa anak yang baru tiga bulanan itu dipakaikan gelang dari tali lontar yang diminta dari geria agar si anak jadi pintar. Ini bisa jadi penyebab selain penempatan lontar yang tidak baik (di tempat lembab)," kata Konservator Disbud Badung, IB Gede Bergawa Grandita.
Berdasarkan proses konservasi dan katalogisasi Senin siang, belum ditemukan naskah lontar yang membahas Pura Penataran Sari. Sebab, belum semua cakep lontar terkatalogisasi dan masih ada lontar yang perlu disusun ulang. Penyuluh Bahasa Bali Kabupaten Badung akan menjadwalkan kembali untuk kegiatan konservasi dan katalogisasi berikutnya.
Namun, lima cakep lontar sudah berhasil dikatalogisasi, yakni naskah berjudul Tengeran Wong Agering, Dasa Nama, Sundari Bungkah (Tingkahing Pracaru), Gagelaran Pamangku (Pangalihan Sasih), dan Prasasti Gunung Wiadin Petang. Kemudian, topik naskah lain yang sekilas sudah dilihat penyuluh membahas usada, awig-awig, banten, dan kadiatmikan lengkap disertai rerajahannya. Sementara itu, informasi untuk penyusunan purana juga ditelusuri melalui testimoni dari beberapa informan yang dilakukan Panitia Penggali Informasi Penyusunan Purana Pura Penataran Sari.
Sosok Ida Bagus Giur dipercaya sebagai pendiri pura. Brahmana Keniten asal Kemenuh, Sukawati, Gianyar ini disebut tiba di Desa Adat Pangsan, Petang sekitar tahun 1923 silam. Anggota Panitia Penggali Informasi, I Gusti Made Ngurah 'Dodi',62, menuturkan, setibanya di Pangsan, Ida Bagus Giur hendak mendatarkan gunungan tanah untuk dijadikan sawah. Pekerjaan itu lama tidak selesai dan ada saja hambatannya. Akhirnya, ia masesangi (bernazar) akan mendirikan palinggih jika pekerjaannya berhasil selesai.
"Karena berhasil, Ida lantas mendirikan palinggih turus lumbung (tidak permanen). Selain Beliau, ada tujuh orang lagi yang disebut ikut masesangi karena masalah di pertanian masing-masing. Lambat laun, turus lumbung itu berkembang menjadi bangunan pura yang lebih permanen," ujar Ngurah Dodi. Masih dari hasil penelusuran testimoni sesepuh, yang disucikan di Pura Penataran Sari bergelar Ida Bhatara Ratu Alit.
Pura ini juga memiliki sasuhunan berwujud barong bangkal. Lebih lanjut, Ngurah Dodi menjelaskan, pura ini memiliki kaitan dengan dua pura lain di Kecamatan Petang yakni Pura Pucak Tedung dan Pura Pucak Arantaja. "Berdasarkan testimoni sesepuh, Ida Bhatara yang disucikan di sini berawal dari Pura Pucak Meregan di Buleleng yang merupakan 'orang tua' dari Ida Bhatara di Danu Bratan, Pura Pucak Tedung, Pura Pucak Arantaja, dan di sini paling terakhir, yang kami di sini biasa menyebut Pura Penataran Alit," beber Ngurah Dodi.
Akan tetapi, Kepanitiaan Penyusunan Purana Pura Penataran Sari tidak ingin menelan informasi dari hasil testimoni/cerita ini mentah-mentah. Oleh karena itu, mereka mencari naskah tertulis yang menjelaskan seluk beluk pura. Bukti-bukti tertulis itu diharapkan muncul dalam lontar yang diwariskan IB Kompyang Kesian, putra dari Ida Bagus Giur.
Gustu Widia, keponakan sang penulis lontar menyebutkan, sang paman boleh saja seorang generasi kedua di keluarga tetapi IB Kompyang Kesian dikenal sebagai ahli aksara. Ia disebut menyalin penjelasan dan peninggalan Ida Bagus Giur ke naskah lontar yang menurut penyuluh ditulis dalam Bahasa Bali Tengahan atau Bahasa Bali Kawi/Bahasa Kawi Bali. 7 ol1
Komentar