Sejak 2023 Badung Tak Olah Sampah ke TPST Samtaku Jimbaran
MANGUPURA, NusaBali - Pemerintah Kabupaten Badung sejak 2023 ternyata tak lagi mengolah sampah ke Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Samtaku di Jalan Goa Gong, Kelurahan Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan. Pertimbangannya, karena teknologi pengolahan sampahnya kurang cocok.
“Teknologinya tidak cocok dengan kondisi sampah kita. Produknya juga belum punya off taker,” ujar Kepala Bidang Pengelolaan Kebersihan dan Limbah B3, Dinas Lingkungan Hidup dan Keberhasihan (LHK) Badung, AA Gde Dalem, Jumat (19/7).
Birokrat yang akrab disapa Gung Dalem tersebut menyampaikan, sejak 2023 sampah yang dihasilkan di Badung bagian selatan dibuang ke TPA Suwung, Denpasar. Adapun sampah yang dihasilkan setiap hari mencapai ratusan ton. “Sampah yang kita bawa ke TPA rata-rata 250 ton setiap hari,” katanya.
Sementara untuk sampah di Badung bagian utara dimusnahkan di pengelolaan sampah atau PDU (Pusat Daur Ulang) TPST di Desa Mengwitani atau di sebelah barat Terminal Mengwi. Selain itu, sampah juga diproses di TPS3R masing-masing desa. “Kita musnahkan di PDU Mengwitani sekitar 40 ton sehari dari seputaran Mangupura,” sebut Gung Dalem.
Sementara, terkait insiden terbakarnya TPST Samtaku Jimbaran, menjadi sorotan banyak pihak. Sebab, sejak awal pembangunan TPST Samtaku Jimbaran dinilai tidak memperhatikan persiapan dan edukasi di masyarakat. Tumpukan berbagai jenis sampah plastik yang terbakar menimbulkan asap yang mengandung racun berbahaya dan karsinogenik seperti dioksin, furan, PFAS, particulate matter (PM2.5, PM10), karbon (CO, CO2, black carbon), logam berat, NOx, serta PAH (Polycyclic Aromatic Hydrocarbons). Polutan-polutan ini dapat menyebabkan gangguan pernapasan, pusing, mual, dan muntah dalam jangka pendek, serta meningkatkan risiko kanker paru, gangguan kognitif, dan penyakit jantung dalam jangka panjang.
“Kemasan plastik mengandung berbagai bahan kimia beracun pengganggu hormon dan karsinogen yang dapat membahayakan kesehatan saat terbakar atau dibakar, termasuk dalam bentuk pelet atau briket RDF,” kata Senior Advisor Nexus3 Foundation Yuyun Ismawati, Jumat (19/7).
“Kimia-kimia berbahaya dan beracun ini jika terlepas ke udara, meningkatkan risiko kesehatan warga sekitar TPST. Tahun lalu sampai awal April 2024, dua warga yang bermukim dekat TPST meninggal akibat menderita kanker yang diperburuk oleh asap dari proses pembuatan RDF dan pembakaran sampah di TPST,” tambahnya.
Sementara, Direktur PPLH Bali Catur Yudha Hariani, mengatakan kebakaran TPST Samtaku Jimbaran menjadi pembelajaran bersama. Pemerintah harus fokus pada perubahan sistem pengelolaan sampah yang menekankan pada pemilahan dan pengelolaan sampah sejak di sumber dan mewajibkan produsen mengambil kembali kemasan mereka lewat skema EPR (Extended Producers Responsibility).
“Malu sebenarnya sebagai warga Bali, karena TPST ini awalnya sangat digadang-gadang menjadi percontohan pertama dalam pengelolaan sampah di Bali. Sudah banyak provinsi lain datang untuk studi tiru, tetapi kenyataannya hasilnya tidak optimal,” ujarnya.
Direktur LBH Bali Rezki Pratiwi, menyebut sejak awal keberadaan TPST Samtaku Jimbaran di tengah-tengah pemukiman warga sudah menyalahi rencana tata ruang serta melanggar hak warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Makanya, atas insiden terbakarnya TPST Samtaku Jimbaran, pihaknya mendesak pihak berwenang untuk segera melakukan investigasi mendalam terhadap penyebab kebakaran, mengambil langkah-langkah preventif untuk mencegah kejadian serupa di TPA/TPST lain.
Sementara itu, pengelola TPST Samtaku Jimbaran I Nyoman Sutarma mengklaim operasional TPST tidak pernah berhenti. Pihaknya masih bekerja sama dengan beberapa pihak lain, seperti bandara, pelabuhan, dan sejumlah hotel berbintang. Sementara kerja sama dengan Pemkab Badung masih menunggu kajian perubahan nilai kontrak.
“Tidak betul (tutup), selama ini tetap operasional khusus pelanggan yang bayar mahal, yaitu di atas Rp 300 ribu per ton,” ujar Sutarma.
Menurut Sutarma pengelolaan sampah membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Hal ini juga untuk memberikan kesejahteraan para pekerja. Jika harga yang diterima masih di bawah harga itu, menurut Sutarma, para pengelola sampah cepat atau lambat akan gulung tikar.
“Tinggal pemerintah saja, mau ndak sampahnya selesai. Kalau mau bayar Rp500 ribu per ton, saya yakin sampah akan selesai tuntas 1000%,” ucapnya.
Sutarma mengatakan, pasca kebakaran TPST Samtaku Jimbaran akan kembali beroperasi. Dalam satu bulan ini akan dilakukan pembersihan dan mengecek peralatan yang masih bisa dipakai. Instalasi peralatan akan dilakukan pada bulan berikutnya.
Sutarma menyebut sosialisasi sudah dilakukan kepada masyarakat desa di seluruh Kecamatan Kuta Selatan saat pembangunan TPST Samtaku Jimbaran. Menurutnya jika dikelola dengan baik, keberadaan TPST tidak akan mengganggu kenyamanan warga.
“Kalau sampah selesai diolah in line dalam 1 hari tuntas, tak akan ada masalah,” sebutnya.
Meski demikian, Sutarma mengakui persoalan sampah di Bali kini semakin kompleks. Ia turut mendorong agar pengelolaan sampah bisa dilakukan di tiap desa sehingga tidak perlu sampai ke TPA. 7 indi, a
Komentar