Sastra Saraswati Sewana 2024 Bangkitkan Kekayaan Ajaran Kepemimpinan Bali: Pemimpin Bertongkat Sastra
GIANYAR, NusaBali.com - 'Ateken sastra,' seorang pemimpin harus bertongkatkan sastra yaitu pengetahuan kebenaran. Sastra dan ajaran yang berkembang dalam budaya Bali memberikan inspirasi kepemimpinan yang adiluhung. Namun, tidak semua pemimpin dan calon pemimpin berhasrat melirik kekayaan ini.
Melalui Sastra Saraswati Sewana 2024, Yayasan Puri Kauhan Ubud menyediakan ruang inspirasi bagi pemimpin dan masyarakat umum, yakni Festival Niti Raja Sasana, untuk menyelami kembali kekayaan sastra dan ajaran kepemimpinan Bali.
"Leluhur orang Bali menekankan bahwa pemimpin itu 'ateken sastra,' bertongkatkan sastra yakni kebenaran, kepatutan, etika, dan rasa," ujar Ketua Yayasan Puri Kauhan Ubud AA Gde Ngurah Ari Dwipayana, ditemui usai pembukaan festival, Sabtu (20/7/2024).
Kata Ari Dwipayana, sastra kepemimpinan yang ada di Bali, seperti sastra lainnya, adalah hasil penyelamatan karya pujangga masa Kerajaan Kediri, Singasari, dan Majapahit. Leluhur orang Bali lantas mengembangkan karya sastra itu yang akarnya jauh lebih tua dari gubahan pemikir barat seperti John Locke dan Jean-Jacques Rousseau.
Meski berupa sastra kuno yang kebanyakan ditulis dalam Bahasa Jawa Kuno, nilai yang terkandung di dalam sastra dan ajaran kepemimpinan Bali ini masih relevan dengan kehidupan saat ini. Terlebih, hajatan politik besar seperti Pemilu dan Pilkada berlangsung berdekatan di tahun keempat penyelenggaraan Sastra Saraswati Sewana ini.
"Acara ini kami dedikasikan untuk mengangkat dan menggali nilai-nilai kepemimpinan yang ada dalam sastra-sastra utama di Bali sebagai inspirasi bagi setiap orang yang merasa jadi pemimpin atau akan jadi pemimpin," ungkap Ari Dwipayana yang juga Koordinator Staf Khusus Presiden RI ini.
Selain nilai kepemimpinan yang tersurat dalam sastra, Sastra Saraswati Sewana juga meneladani pemimpin Bali di masa lalu yang tauladan kepemimpinannya tetap hidup. Mereka adalah Ida Pedanda Ngurah (Geria Gede Belayu), Ida Pedanda Made Sidemen (Geria Taman Sari, Sanur), Tjokorda Gde Ngurah (Puri Saren Kauh, Ubud), I Gusti Ngurah Made Agung (Raja VII Kerajaan Badung), Prof Dr IB Mantra (Gubernur VI Provinsi Bali) yang diganjar Sastra Saraswati Nugraha.
Sesuai tema 'Niti Raja Sasana, Tongkat Sastra Kepemimpinan Negeri,' Sastra Saraswati Sewana membedah nilai kepemimpinan Bali melalui lontar, diskusi, dan karya seni. Festival ini juga menayangkan film animasi karya anak bangsa hasil kompetisi sebelumnya, menampilkan pameran keris, usada, wastra, pusaka, wariga, dan numerologi hingga Selasa (23/7/2024) pekan depan.
Sementara itu, festival dibuka Sabtu siang oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) RI Hadi Tjahjanto. Mantan Panglina TNI ini memuji dedikasi Yayasan Puri Kauhan Ubud dalam pelestarian budaya. Ia juga mendukung upaya yayasan untuk terus membuka nilai-nilai yang diwariskan para leluhur melalui sastra.
"Pesan-pesan (sastra) itu pada konsepsinya adalah pesan-pesan kemanusiaan untuk bisa memberikan kesejahteraan dan kebahagian melalui kepemimpinan. Kegiatan seperti ini agar dipertahanan supaya pesan-pesan leluhur untuk memakmurkan bangsa tersampaikan ke generasi penerus," beber Hadi Tjahjanto.
Hadi percaya, sastra sebagai kearifan bangsa bisa menjadi jembatan masa lalu dengan masa depan. Sastra bisa menjadi panduan dan pembelajaran bagi generasi mendatang sehingga cita-cita leluhur dan pendahulu di masa lalu tidak terputus pada satu generasi. *rat
"Leluhur orang Bali menekankan bahwa pemimpin itu 'ateken sastra,' bertongkatkan sastra yakni kebenaran, kepatutan, etika, dan rasa," ujar Ketua Yayasan Puri Kauhan Ubud AA Gde Ngurah Ari Dwipayana, ditemui usai pembukaan festival, Sabtu (20/7/2024).
Kata Ari Dwipayana, sastra kepemimpinan yang ada di Bali, seperti sastra lainnya, adalah hasil penyelamatan karya pujangga masa Kerajaan Kediri, Singasari, dan Majapahit. Leluhur orang Bali lantas mengembangkan karya sastra itu yang akarnya jauh lebih tua dari gubahan pemikir barat seperti John Locke dan Jean-Jacques Rousseau.
Meski berupa sastra kuno yang kebanyakan ditulis dalam Bahasa Jawa Kuno, nilai yang terkandung di dalam sastra dan ajaran kepemimpinan Bali ini masih relevan dengan kehidupan saat ini. Terlebih, hajatan politik besar seperti Pemilu dan Pilkada berlangsung berdekatan di tahun keempat penyelenggaraan Sastra Saraswati Sewana ini.
"Acara ini kami dedikasikan untuk mengangkat dan menggali nilai-nilai kepemimpinan yang ada dalam sastra-sastra utama di Bali sebagai inspirasi bagi setiap orang yang merasa jadi pemimpin atau akan jadi pemimpin," ungkap Ari Dwipayana yang juga Koordinator Staf Khusus Presiden RI ini.
Selain nilai kepemimpinan yang tersurat dalam sastra, Sastra Saraswati Sewana juga meneladani pemimpin Bali di masa lalu yang tauladan kepemimpinannya tetap hidup. Mereka adalah Ida Pedanda Ngurah (Geria Gede Belayu), Ida Pedanda Made Sidemen (Geria Taman Sari, Sanur), Tjokorda Gde Ngurah (Puri Saren Kauh, Ubud), I Gusti Ngurah Made Agung (Raja VII Kerajaan Badung), Prof Dr IB Mantra (Gubernur VI Provinsi Bali) yang diganjar Sastra Saraswati Nugraha.
Sesuai tema 'Niti Raja Sasana, Tongkat Sastra Kepemimpinan Negeri,' Sastra Saraswati Sewana membedah nilai kepemimpinan Bali melalui lontar, diskusi, dan karya seni. Festival ini juga menayangkan film animasi karya anak bangsa hasil kompetisi sebelumnya, menampilkan pameran keris, usada, wastra, pusaka, wariga, dan numerologi hingga Selasa (23/7/2024) pekan depan.
Sementara itu, festival dibuka Sabtu siang oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) RI Hadi Tjahjanto. Mantan Panglina TNI ini memuji dedikasi Yayasan Puri Kauhan Ubud dalam pelestarian budaya. Ia juga mendukung upaya yayasan untuk terus membuka nilai-nilai yang diwariskan para leluhur melalui sastra.
"Pesan-pesan (sastra) itu pada konsepsinya adalah pesan-pesan kemanusiaan untuk bisa memberikan kesejahteraan dan kebahagian melalui kepemimpinan. Kegiatan seperti ini agar dipertahanan supaya pesan-pesan leluhur untuk memakmurkan bangsa tersampaikan ke generasi penerus," beber Hadi Tjahjanto.
Hadi percaya, sastra sebagai kearifan bangsa bisa menjadi jembatan masa lalu dengan masa depan. Sastra bisa menjadi panduan dan pembelajaran bagi generasi mendatang sehingga cita-cita leluhur dan pendahulu di masa lalu tidak terputus pada satu generasi. *rat
Komentar