Bali Overcrowded, Kemenparekraf Komitmen Promosikan Sisi Lain Pulau Dewata
GIANYAR, NusaBali.com - ‘Overturisme’ untuk menyebut kondisi pariwisata Bali saat ini dinilai kurang tepat. Sebab, belum ada studi ilmiah yang membuktikannya. Namun, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) menilai yang terjadi sebenarnya adalah ketidakmerataan distribusi wisatawan.
Hal ini disampaikan Deputi Bidang Pemasaran Kemenparekraf Ni Made Ayu Marthini ketika ditemui usai jadi pembicara di acara diskusi Festival Niti Raja Sasana, Sastra Saraswati Sewana di Taman Baca Ubud, Desa Sayan, Kecamatan Ubud, Gianyar, baru-baru ini.
Aktivitas pariwisata yang menumpuk di Bali bagian selatan seperti Badung, Denpasar, Gianyar, dan sebagian daerah Tabanan disebut jadi biang kerok kejenuhan pariwisata. Padahal, daerah Bali yang lain di bagian barat, utara, dan timur masih jarang tersentuh dan jadi pertanda distribusi wisatawan belum seimbang.
“Apakah Bali overturisme? Sebenarnya kalau ditelisik, yang terjadi adalah wisatawan itu menumpuk di satu tempat. Para wisatawan ini tidak terdistribusi dengan baik,” kata Ayu Marthini.
Atas kondisi ini, Kemenparekraf khususnya di lini pemasaran berkomitmen mempromosikan destinasi lain di luar daerah yang selama ini jadi hotspot pariwisata. Ayu Marthini menjelaskan, sudah saatnya sisi lain Bali di bagian barat, utara, dan timur mendapat ekspos lebih baik.
“Saya pakai contoh Austria, yang penduduknya 9 juta jiwa. Tapi, wisatawannya 30 juta, kok bisa? Ya, tata kelola, entah itu traffic (wisatawan), investasi seharusnya di mana, dan juga pengelolaan produk dan aktivitas turismenya,” beber Ayu Marthini yang juga mantan Direktur Perundingan Bilateral di Kementerian Perdagangan ini.
Kata perempuan Bali yang mengawali karier birokrasi tahun 1996 silam, tren pariwisata ke depan adalah wisata ‘deep & meaningful’ yakni memberikan pengalaman mendalam. Hal ini bisa ditemukan pada tempat wisata yang tidak ramai atau overcrowded, tidak seperti Bali bagian selatan.
Modal mengikuti tren wisata yang memberikan pengalaman ini sudah dimiliki Bali. Praktiknya pun disebut sudah berlangsung, misalkan, wisatawan asing yang berkunjung ke rumah penduduk sembari belajar masakan Bali dan kebiasaan warga setempat beraktivitas di keseharian.
"Bukan lagi wisata yang bergrup besar (ramai) tapi pengalaman yang dicari. Kalau ke Ubud misalkan, maunya jalan-jalan ke sawah, ikut masak di rumah-rumah warga,” tutur Ayu Marthini. *rat
Aktivitas pariwisata yang menumpuk di Bali bagian selatan seperti Badung, Denpasar, Gianyar, dan sebagian daerah Tabanan disebut jadi biang kerok kejenuhan pariwisata. Padahal, daerah Bali yang lain di bagian barat, utara, dan timur masih jarang tersentuh dan jadi pertanda distribusi wisatawan belum seimbang.
“Apakah Bali overturisme? Sebenarnya kalau ditelisik, yang terjadi adalah wisatawan itu menumpuk di satu tempat. Para wisatawan ini tidak terdistribusi dengan baik,” kata Ayu Marthini.
Atas kondisi ini, Kemenparekraf khususnya di lini pemasaran berkomitmen mempromosikan destinasi lain di luar daerah yang selama ini jadi hotspot pariwisata. Ayu Marthini menjelaskan, sudah saatnya sisi lain Bali di bagian barat, utara, dan timur mendapat ekspos lebih baik.
“Saya pakai contoh Austria, yang penduduknya 9 juta jiwa. Tapi, wisatawannya 30 juta, kok bisa? Ya, tata kelola, entah itu traffic (wisatawan), investasi seharusnya di mana, dan juga pengelolaan produk dan aktivitas turismenya,” beber Ayu Marthini yang juga mantan Direktur Perundingan Bilateral di Kementerian Perdagangan ini.
Kata perempuan Bali yang mengawali karier birokrasi tahun 1996 silam, tren pariwisata ke depan adalah wisata ‘deep & meaningful’ yakni memberikan pengalaman mendalam. Hal ini bisa ditemukan pada tempat wisata yang tidak ramai atau overcrowded, tidak seperti Bali bagian selatan.
Modal mengikuti tren wisata yang memberikan pengalaman ini sudah dimiliki Bali. Praktiknya pun disebut sudah berlangsung, misalkan, wisatawan asing yang berkunjung ke rumah penduduk sembari belajar masakan Bali dan kebiasaan warga setempat beraktivitas di keseharian.
"Bukan lagi wisata yang bergrup besar (ramai) tapi pengalaman yang dicari. Kalau ke Ubud misalkan, maunya jalan-jalan ke sawah, ikut masak di rumah-rumah warga,” tutur Ayu Marthini. *rat
Komentar