Dewa Palguna: Bali Perlu Otonomi Khusus untuk Akhiri Kesenjangan
GIANYAR, NusaBali.com - Provinsi Bali dinilai masih relevan untuk mengejar status sebagai daerah otonomi khusus. Hal ini dimaksudkan untuk memecahkan masalah kesenjangan pembangunan dan perekonomian antarwilayah yang terjadi di Pulau Dewata saat ini.
Pendapat ini diutarakan akademikus Hukum Tata Negara sekaligus Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Dr I Dewa Gede Palguna SH MHum ketika menjadi pembicara di diskusi Festival Niti Raja Sasana, Sastra Saraswati Sewana di Ubud, Gianyar, Senin (22/7/2024).
Kata pria kelahiran Bangli, 62 tahun silam ini, Indonesia sebenarnya tidak menganut sistem desentralisasi yang seragam melainkan asimetris atau asymmetric decentralization. Ini sesuai bunyi Pasal 18 ayat 2 UUD 1945, ‘Pemerintah daerah Provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.’
“Oleh karena itu, Bali sebenarnya memiliki kesempatan untuk mengatur dirinya sendiri. Mungkin orang cemas mendengar Bali otonomi khusus, mengiranya akan seperti Aceh, Papua, padahal enggak,” tegas Dewa Palguna.
Hakim MK periode 2003-2008 dan 2015-2020 ini menuturkan, Bali hanya butuh satu daerah otonom yaitu di level provinsi sehingga kesenjangan antarwilayah kabupaten/kota itu tidak terjadi. Sebab, dijelaskan Dewa Palguna, prinsip otonomi itu adalah bisa melayani lebih cepat, mudah, murah, dan lebih baik.
Provinsi Bali yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) hanya seluas 5.590,15 kilometer persegi ini dinilai ideal menjadi satu daerah otonomi saja. Berbeda dengan daerah di pulau-pulau besar Indonesia yang luas kabupatennya bisa lebih besar dari keseluruhan luas wilayah Provinsi Bali.
“Dari sisi ekonomi, kata teman ekonom saya di Universitas Udayana (Unud), kalau Bali bisa jadi satu daerah otonom maka banyak anggaran yang bisa dihemat. Bahkan, akan bisa membiayai pendidikan ratusan anak-anak Bali hingga ke perguruan tinggi,” ungkap Dewa Palguna.
Efisiensi yang besar ini bisa didapat karena dengan satu daerah otonom, jabatan eksekutif dan legislatif di kabupaten/kota bakal hilang. Termasuk jabatan integral di bawahnya juga hilang dan hanya ada di level provinsi. Untuk itu, Bali dikelola sebagai satu kesatuan wilayah tanpa ‘raja-raja kecil’ di daerah.
Menurut Dewa Palguna, ketidakmerataan dampak pariwisata juga dilatarbelakangi besarnya wewenang pemerintah di level kabupaten/kota. Besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) Badung misalkan, tidak akan tercapai jika destinasi wisata di luar Badung kolaps. Tapi dari aktivitas wisata ini, Badung yang paling diuntungkan lantaran jadi pusat akomodasi sekaligus sumber pajak yang besar.
Situasi ini dinilai berbeda jika Bali dikelola sebagai satu kesatuan. Anggaran dapat diputar lebih leluasa karena dikelola satu pemerintahan otonom. Misalkan, PAD yang sebagian besar bersumber dari pajak hotel dan restoran (PHR) di Badung bisa digunakan untuk pembangunan di daerah lain tanpa proses hibah dan lain sebagainya karena baik Badung dan kabupaten/kota lain berada di bawah satu manajemen.
Hal seperti ini dianggap sukar terjadi sekarang sebab kewenangan bupati/walikota terhadap kabupaten/kota dinilai lebih besar dari gubernur. Gubernur hanya memiliki kewenangan koordinasi dan supervisi terhadap pengelolaan kabupaten/kota masing-masing. Gubernur disebut baru memiliki wewenang jika ada kebutuhan kebijakan lintas wilayah.
“Jadi, Bali itu cuma butuh satu daerah otonom untuk menghilangkan kesenjangan itu. Pusat cuma perlu menyusui satu daerah otonom, provinsi saja, tidak perlu ada kabupaten/kota. Sehingga, pusat senang karena uang untuk membiayai kita lebih kecil, kita juga senang karena bisa mengatur diri sendiri dan jadi lebih sejahtera,” beber pria yang khas dengan tampilan kumisnya ini.
Namun, Dewa Palguna mengakui bahwa cita-cita ini bisa jadi hanya mimpi di siang bolong. Terkecuali Bali memiliki negosiator ulung, status daerah otonomi khusus ini agaknya sulit digapai ketika menghadapi resistensi dari partai politik (parpol). Meski Bali bisa menjamin tidak menjadi daerah otonom seperti Aceh dan Papua, ada kepentingan politik yang sulit dibayarkan.
“Problemnya di mana? Coba ada berapa jabatan yang hilang jika itu (otonomi khusus) dilaksanakan, ada sembilan bupati/walikota, ketua DPRD, ketua-ketua komisinya. Apalagi yang ada di sana? staf ahlinya mungkin, berapa banyak anggaran yang dihabiskan? Siapa yang akan mau bernegosiasi dengan partai-partai politik ini?” ujar Dewa Palguna.
Kalau pun berhasrat untuk terus mengejar status otonomi khusus ini, orang yang berhasil melakukannya, kata Dewa Palguna, akan menciptakan legacy. Ia menilai, Bali ke depan membutuhkan pemimpin yang ‘tough’ atau tangguh. Dan, mimpi ini sudah seharusnya menjadi cita-cita kolektif pemimpin Bali, terutama yang lolos ke Senayan. *rat
Kata pria kelahiran Bangli, 62 tahun silam ini, Indonesia sebenarnya tidak menganut sistem desentralisasi yang seragam melainkan asimetris atau asymmetric decentralization. Ini sesuai bunyi Pasal 18 ayat 2 UUD 1945, ‘Pemerintah daerah Provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.’
“Oleh karena itu, Bali sebenarnya memiliki kesempatan untuk mengatur dirinya sendiri. Mungkin orang cemas mendengar Bali otonomi khusus, mengiranya akan seperti Aceh, Papua, padahal enggak,” tegas Dewa Palguna.
Hakim MK periode 2003-2008 dan 2015-2020 ini menuturkan, Bali hanya butuh satu daerah otonom yaitu di level provinsi sehingga kesenjangan antarwilayah kabupaten/kota itu tidak terjadi. Sebab, dijelaskan Dewa Palguna, prinsip otonomi itu adalah bisa melayani lebih cepat, mudah, murah, dan lebih baik.
Provinsi Bali yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) hanya seluas 5.590,15 kilometer persegi ini dinilai ideal menjadi satu daerah otonomi saja. Berbeda dengan daerah di pulau-pulau besar Indonesia yang luas kabupatennya bisa lebih besar dari keseluruhan luas wilayah Provinsi Bali.
“Dari sisi ekonomi, kata teman ekonom saya di Universitas Udayana (Unud), kalau Bali bisa jadi satu daerah otonom maka banyak anggaran yang bisa dihemat. Bahkan, akan bisa membiayai pendidikan ratusan anak-anak Bali hingga ke perguruan tinggi,” ungkap Dewa Palguna.
Efisiensi yang besar ini bisa didapat karena dengan satu daerah otonom, jabatan eksekutif dan legislatif di kabupaten/kota bakal hilang. Termasuk jabatan integral di bawahnya juga hilang dan hanya ada di level provinsi. Untuk itu, Bali dikelola sebagai satu kesatuan wilayah tanpa ‘raja-raja kecil’ di daerah.
Menurut Dewa Palguna, ketidakmerataan dampak pariwisata juga dilatarbelakangi besarnya wewenang pemerintah di level kabupaten/kota. Besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) Badung misalkan, tidak akan tercapai jika destinasi wisata di luar Badung kolaps. Tapi dari aktivitas wisata ini, Badung yang paling diuntungkan lantaran jadi pusat akomodasi sekaligus sumber pajak yang besar.
Situasi ini dinilai berbeda jika Bali dikelola sebagai satu kesatuan. Anggaran dapat diputar lebih leluasa karena dikelola satu pemerintahan otonom. Misalkan, PAD yang sebagian besar bersumber dari pajak hotel dan restoran (PHR) di Badung bisa digunakan untuk pembangunan di daerah lain tanpa proses hibah dan lain sebagainya karena baik Badung dan kabupaten/kota lain berada di bawah satu manajemen.
Hal seperti ini dianggap sukar terjadi sekarang sebab kewenangan bupati/walikota terhadap kabupaten/kota dinilai lebih besar dari gubernur. Gubernur hanya memiliki kewenangan koordinasi dan supervisi terhadap pengelolaan kabupaten/kota masing-masing. Gubernur disebut baru memiliki wewenang jika ada kebutuhan kebijakan lintas wilayah.
“Jadi, Bali itu cuma butuh satu daerah otonom untuk menghilangkan kesenjangan itu. Pusat cuma perlu menyusui satu daerah otonom, provinsi saja, tidak perlu ada kabupaten/kota. Sehingga, pusat senang karena uang untuk membiayai kita lebih kecil, kita juga senang karena bisa mengatur diri sendiri dan jadi lebih sejahtera,” beber pria yang khas dengan tampilan kumisnya ini.
Namun, Dewa Palguna mengakui bahwa cita-cita ini bisa jadi hanya mimpi di siang bolong. Terkecuali Bali memiliki negosiator ulung, status daerah otonomi khusus ini agaknya sulit digapai ketika menghadapi resistensi dari partai politik (parpol). Meski Bali bisa menjamin tidak menjadi daerah otonom seperti Aceh dan Papua, ada kepentingan politik yang sulit dibayarkan.
“Problemnya di mana? Coba ada berapa jabatan yang hilang jika itu (otonomi khusus) dilaksanakan, ada sembilan bupati/walikota, ketua DPRD, ketua-ketua komisinya. Apalagi yang ada di sana? staf ahlinya mungkin, berapa banyak anggaran yang dihabiskan? Siapa yang akan mau bernegosiasi dengan partai-partai politik ini?” ujar Dewa Palguna.
Kalau pun berhasrat untuk terus mengejar status otonomi khusus ini, orang yang berhasil melakukannya, kata Dewa Palguna, akan menciptakan legacy. Ia menilai, Bali ke depan membutuhkan pemimpin yang ‘tough’ atau tangguh. Dan, mimpi ini sudah seharusnya menjadi cita-cita kolektif pemimpin Bali, terutama yang lolos ke Senayan. *rat
Komentar