Kata Tokoh Buddha-Islam, Kepemimpinan Tanah Air Kekeringan Teladan dan Keutamaan
GIANYAR, NusaBali.com - Zaman semakin berkembang, nilai luhur bangsa tergerus karena tidak dipraktikkan para elitnya. Tanah air kini sedang mengalami kekeringan petinggi yang bisa diteladani dan menjalankan keutamaan.
Begitulah kata YM Bhikkhu Dhammasubho Mahathera dan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof Dr Phil Al Makin SAg MA ketika duduk bersama dalam satu mimbar diskusi lintas agama dengan hadirin mayoritas Hindu di Festival Niti Raja Sasana, Sastra Saraswati Sewana, Ubud, Gianyar, baru-baru ini.
Bhante Dhammasubho menuturkan, pemimpin berbeda dengan elit penguasa. Pemimpin di masa lampau berfungsi pula sebagai tetua yang menjadi teladan, panutan, dan sandaran. Jika dilihat dari situasi bangsa sekarang ini, seorang teladan telah hilang dari tanah air.
“Di bahasa modern, tetua atau yang dituakan ini disebut tokoh. Tokoh itu pelaku utama, punya pengalaman, apa yang dikatakan itu yang dilakukan maka ia mendapat kepercayaan. Sekarang ini yang hilang apa? Tokoh, tetua, teladan,” ungkap Bhante Dhammasubho, ditemui usai acara diskusi.
Bhante kelahiran Kediri, Jawa Timur 68 tahun silam ini memandang, kebanyakan yang muncul kala ini adalah pemuka bukan tokoh, ketua bukan tetua. Seorang pemuka bukan pelaku utama, tidak memiliki pengalaman, dan lain kata dengan tindakan. Seorang ketua membawa sekat dan polarisasi di masyarakat.
“Sekarang di mana-mana telah kehilangan yang namanya tokoh, teladan, panutan, tetua, yang banyak adalah ketua. Saya pernah mengikuti acara, panitia menyebut ‘Yang Terhormat’ dalam satu lembaga itu dia punya ormas sampai 17, saking banyaknya ketua-ketua. Tapi, tidak damai karena tidak ada tetua,” tutur Bhante Dhammasubho.
Lanjut bhikkhu yang ditahbiskan tahun 1986 silam di Bangkok, Thailand, ketua kini dipilih dan menang karena kuantitas/mayoritas (dukungan). Sedangkan, tetua di masa lalu terpilih karena kepercayaan yang diperoleh dari menjalankan ketokohan yang diteladani rakyatnya.
Sementara itu, Prof Al Makin menjelaskan, nilai luhur bangsa telah masuk ke tradisi agama-agama yang berkembang di tanah air. Dalam tradisi Islam, dikenal istilah fadhilah (keutamaan) yang sudah tidak dilirik masyarakat, apalagi populer di kalangan elit.
Kondisi kepemimpinan tanah air yang kekeringan teladan ini juga berakar dari degradasi nilai di masyarakat. Kata Prof Al Makin, masyarakat yang buruk akan melahirkan elit yang buruk pula dan begitu pula sebaliknya. Elit adalah cerminan masyarakat yang dipimpinnya.
“Keutamaan tidak dilihat, lebih ke penampilan, follower-nya banyak, membawa sesuatu yang dijanjikan. Keutamaannya mana? (Tapi) kalau menonjolkan keutamaan, tidak menarik, tidak dilirik, masyarakat tidak melihat keutamaan itu penting karena yang dilihat adalah keuntungan sesaat,” ujar pemikir Islam jebolan Universitas McGill, Kanada.
Oleh karena itu, kepemimpinan yang tauladan dan menjalankan keutamaan harus dikerjakan dari dua sisi yakni elit dan akar rumput. Masyarakat yang mendambakan elit yang bermoral, harus menjadi bermoral dulu. Dan, Elit yang baik, kata Prof Al Makin, tidak akan memimpin rakyat yang buruk.
“Sekadar tampil, sekadar formal memegang kepercayaan, memegang power, duduk di kursi itu tidak cukup. Oleh karena itu, nilai-nilai keutamaan inilah yang harus kembali diingatkan,” beber dosen Sosiologi Islam kelahiran Bojonegoro, Jawa Timur 52 tahun silam. *rat
Bhante Dhammasubho menuturkan, pemimpin berbeda dengan elit penguasa. Pemimpin di masa lampau berfungsi pula sebagai tetua yang menjadi teladan, panutan, dan sandaran. Jika dilihat dari situasi bangsa sekarang ini, seorang teladan telah hilang dari tanah air.
“Di bahasa modern, tetua atau yang dituakan ini disebut tokoh. Tokoh itu pelaku utama, punya pengalaman, apa yang dikatakan itu yang dilakukan maka ia mendapat kepercayaan. Sekarang ini yang hilang apa? Tokoh, tetua, teladan,” ungkap Bhante Dhammasubho, ditemui usai acara diskusi.
Bhante kelahiran Kediri, Jawa Timur 68 tahun silam ini memandang, kebanyakan yang muncul kala ini adalah pemuka bukan tokoh, ketua bukan tetua. Seorang pemuka bukan pelaku utama, tidak memiliki pengalaman, dan lain kata dengan tindakan. Seorang ketua membawa sekat dan polarisasi di masyarakat.
“Sekarang di mana-mana telah kehilangan yang namanya tokoh, teladan, panutan, tetua, yang banyak adalah ketua. Saya pernah mengikuti acara, panitia menyebut ‘Yang Terhormat’ dalam satu lembaga itu dia punya ormas sampai 17, saking banyaknya ketua-ketua. Tapi, tidak damai karena tidak ada tetua,” tutur Bhante Dhammasubho.
Lanjut bhikkhu yang ditahbiskan tahun 1986 silam di Bangkok, Thailand, ketua kini dipilih dan menang karena kuantitas/mayoritas (dukungan). Sedangkan, tetua di masa lalu terpilih karena kepercayaan yang diperoleh dari menjalankan ketokohan yang diteladani rakyatnya.
Sementara itu, Prof Al Makin menjelaskan, nilai luhur bangsa telah masuk ke tradisi agama-agama yang berkembang di tanah air. Dalam tradisi Islam, dikenal istilah fadhilah (keutamaan) yang sudah tidak dilirik masyarakat, apalagi populer di kalangan elit.
Kondisi kepemimpinan tanah air yang kekeringan teladan ini juga berakar dari degradasi nilai di masyarakat. Kata Prof Al Makin, masyarakat yang buruk akan melahirkan elit yang buruk pula dan begitu pula sebaliknya. Elit adalah cerminan masyarakat yang dipimpinnya.
“Keutamaan tidak dilihat, lebih ke penampilan, follower-nya banyak, membawa sesuatu yang dijanjikan. Keutamaannya mana? (Tapi) kalau menonjolkan keutamaan, tidak menarik, tidak dilirik, masyarakat tidak melihat keutamaan itu penting karena yang dilihat adalah keuntungan sesaat,” ujar pemikir Islam jebolan Universitas McGill, Kanada.
Oleh karena itu, kepemimpinan yang tauladan dan menjalankan keutamaan harus dikerjakan dari dua sisi yakni elit dan akar rumput. Masyarakat yang mendambakan elit yang bermoral, harus menjadi bermoral dulu. Dan, Elit yang baik, kata Prof Al Makin, tidak akan memimpin rakyat yang buruk.
“Sekadar tampil, sekadar formal memegang kepercayaan, memegang power, duduk di kursi itu tidak cukup. Oleh karena itu, nilai-nilai keutamaan inilah yang harus kembali diingatkan,” beber dosen Sosiologi Islam kelahiran Bojonegoro, Jawa Timur 52 tahun silam. *rat
Komentar