Harga Kerap di Bawah HPP, KUD Diminta ‘Aktif’ Kembali Beli Gabah Petani
DENPASAR, NusaBali - Kalangan petani berharap dan meminta, Koperasi Unit Desa (KUD) bisa ‘aktif’ kembali membeli gabah petani, sebagaimana waktu sekitar tahun 1990-an. Alasannya, gabah ketika itu bisa terserap dengan harga yang stabil. Sedangkan belakangan ini harga fluktuatif, bahkan kerap di bawah Harga Pokok Penjualan (HPP) yang ditetapkan pemerintah. Kondisi tersebut jelas menjadi kerugian bagi petani.
“Malah waktu panen lalu, harga gabah hanya Rp4.000-Rp4.500, perkilo” ujar Putu Edi Sumarthawan , Pekaseh Sidang Rapuh, Desa Marga Dauh Puri, Kecamatan Marga, Tabanan, Minggu(4/8).
Padahal HPP yang ditetapkan pemerintah Rp6.000 perkilo. “Jadi harga di lapangan tidak pernah sampai ke HPP,” ungkapnya.
Tambahnya sepanjang yang dia ketahui, gabah petani lebih banyak diserap atau dibeli pedagang atau pengepul gabah dari pengusaha pemilik penggilingan.
Kalau pun terjadi tawar- menawar atau kenaikkan harga, tidak seberapa. Misalnya dari Rp4.000 naik sedikit jadi Rp.4.200, atau maksimal Rp4.500, tak sampai menyentuh HPP.
Karena itu, diminta lembaga-lembaga yang oleh pemerintah ditugaskan dan bertanggung jawab terhadap pertanian dan hasil produksi petani, bersungguh-sungguh. Harapannya harga gabah di lapangan jangan sampai berada dibawah HPP.
“Jadi ingat kalau dulu di tingkat kecamatan ada KUD yang bisa membeli gabah petani dengan harga normal,” kenang Pekaseh yang sarjana teknik ini.
Dia yakin HPP yang ditetapkan pemerintah, tentu sudah dengan memperhitungkan berbagai aspek, seperti biaya produksi atau harga saprodi dan aspek-aspek lainnya, sehingga petani jangan sampai dirugikan.
Namun kenyataan di lapangan, tidak demikian dirasakan. Terutama saat panen raya, harga gabah kerap anjlok jauh di bawah HPP.
”Jelas petani menderita kerugian. Apalagi biaya saprodi cenderung meningkat,” ucapnya mengiyakan kesejahteraan petani menurun, salah satunya karena harga gabah yang sering jeblok. .
Sebelumnya Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali mencatat Indeks Nilai Tukar Petani (NTP) Bali pada bulan Juli lalu tercatat 99,44 persen, dari awalnya 102,99 persen pada bulan Juni. Atau menurun sedalam 3,44 persen.
Analis Madya Statistik BPS Provinsi Bali, I Made Agus Adnyana menyampaikan NTP Provinsi Bali di bawah angka 100 mengindikasikan pada tingkatan tertentu nilai tukar produk yang dihasilkan petani belum mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga petani.
“Dari 5 subsektor yang menjadi komponen penyusun NTP, terdapat 1 subsektor yang mampu mencapai angka 100 untuk bulan Juli, yaitu subsektor tanaman perkebunan rakyat. Sedangkan subsektor lain di bawah angka 100. Keempatnya; subsektor tanaman pangan, peternakan, hortikultura dan sub sektor perikanan,” lanjutnya.
NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan atau daya beli petani di pedesaan.
”NTP juga menunjukkan daya tukar dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi,” tambah Agus Adnyana. K17.
Komentar