Sidang OTT Bendesa Adat Berawa, I Ketut Riana di Pengadilan Tipikor
Penasihat Hukum dan Jaksa Debat Sengit
Saksi ahli, Mahrus Ali memberikan pandangan bahwa hanya Aparatur Sipil Negara, Penyelenggara Negara, Advokat, dan Hakim yang bisa dijerat dengan kasus korupsi.
DENPASAR, NusaBali
Sidang lanjutan kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) Bendesa Adat Berawa I Ketut Riana yang diduga melakukan pemerasan Rp 10 miliar kepada investor kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar, Kamis (8/8) siang.
Sidang lanjut dengan agenda pemeriksaan saksi meringankan semakin memanas dengan perdebatan sengit antara pihak jaksa penuntut umum dan penasihat hukum terdakwa, terutama setelah dihadirkannya saksi ahli pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Mahrus Ali.
Dalam persidangan, Mahrus Ali memberikan pandangan bahwa hanya Aparatur Sipil Negara, Penyelenggara Negara, Advokat, dan Hakim yang bisa dijerat dengan kasus korupsi. Dia menegaskan bahwa penerima suap harus memiliki Surat Keterangan (SK) yang menyatakan bahwa mereka termasuk dalam golongan tersebut, serta harus ada bukti transfer dana yang sah.
Mahrus juga menambahkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang tidak termasuk dalam empat kategori tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Ia menjelaskan bahwa dalam kasus suap, harus ada dua pihak yang terlibat dan bersedia, yaitu pemberi dan penerima suap, serta tindakan tersebut harus melibatkan pegawai negeri.
"Honor yang diterima oleh seseorang tidak bisa disamakan dengan gaji. Honor diterima sebagai imbalan atas pekerjaan tertentu, sementara gaji adalah pendapatan rutin. Oleh karena itu, Aparatur Desa Adat yang menerima honor tidak dapat dianggap sebagai pegawai negeri," jelasnya.
Penasihat hukum I Ketut Riana, Gede Pasek Suardika ditemui usai sidang menyambut baik keterangan saksi ahli ini. Apalagi saksi ahli yang dihadirkannya itu dikatakannya sebagai salah satu ahli pidana yang saat ini sedang diakui di Indonesia. Ia menjelaskan bahwa menurut keterangan saksi ahli dalam persidangan menegaskan, bahwa adanya perbedaan mendasar antara pemerasan dan penyuapan. Dalam kasus yang melibatkan terdakwa I Ketut Riana, menurutnya adalah penyuapan, dan bukan pemerasan.
Pasek Suardika juga menyoroti bahwa dalam konteks hukum, pegawai negeri yang menerima gaji atau upah diatur oleh undang-undang yang khusus mengatur soal tersebut. Ia menekankan bahwa honor, imbalan, atau uang penghargaan yang diterima tidak dapat disamakan dengan gaji atau upah. "Oleh karena itu, jika seseorang tidak menerima gaji atau upah sesuai dengan undang-undang, maka ia bukanlah pegawai negeri seperti yang dimaksud dalam Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Tipikor," ujarnya.
Lebih lanjut, Pasek Suardika menegaskan bahwa Bendesa Adat berdasarkan keterangan saksi tidak dapat dianggap sebagai pegawai negeri dalam konteks undang-undang tersebut. Ia juga mengkritik dakwaan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum sebagai tidak relevan dan tidak memiliki dasar hukum yang kuat. “Maka kalau majelis hakim berpendapat sama dengan ahli, saya yakin putusannya bebas. Ini kan dakwaannya tunggal, kalau memang tidak ada delik pemerasan berarti bebas,” tandasnya.
Selain itu, Pasek Suardika juga mempertanyakan penerapan Pasal 18 Undang-Undang Tipikor terkait penggantian kerugian keuangan negara dalam kasus ini. Ia menyebut bahwa pasal tersebut biasanya diterapkan dalam kasus yang jelas-jelas melibatkan kerugian keuangan negara, yang menurutnya tidak terjadi dalam kasus ini. Oleh karena itu, ia kembali menekankan keyakinannya bahwa kliennya harus dibebaskan dari dakwaan.
“Karena pasal 18 itu otentiknya itu terkait dengan kerugian keuangan negara yang harus diganti dipulihkan gitu, termasuk juga tentang kejahatan berulang pasal 64 ayat 1, jadi juncto-juncto pasal itu kita tanyakan, pasal utama kita tanyakan dan ini sangat tidak masuk kasusnya,” pungkasnya.
Disisi lain ditemui setelah sidang, jaksa penuntut umum I Nengah Astawa membantah keterangan Pasek Suardika. Ia menegaskan bahwa pandangan ahli yang dihadirkan oleh pihak terdakwa tidak mengubah keyakinan mereka mengenai status hukum Bendesa Adat I Ketut Riana sebagai subjek yang dapat dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Ia merujuk pada pasal 1 huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999, yang menyebutkan bahwa pegawai negeri termasuk mereka yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah. 7 cr79
1
Komentar