nusabali

Kisah Tragis Ni Wayan Sapreg, Perutnya Berlubang Ditembak Penjajah saat Lindungi Pejuang

Keluarga Berharap Didirikan Patung Ni Sapreg di Bundaran Jalan Sapreg, Desa Sedang, Abiansemal, Badung

  • www.nusabali.com-kisah-tragis-ni-wayan-sapreg-perutnya-berlubang-ditembak-penjajah-saat-lindungi-pejuang

MANGUPURA, NusaBali.com - Ni Wayan Sapreg adalah tokoh heroik perempuan asal Banjar Sedang Kaja, Desa Sedang, Kecamatan Abiansemal, Badung yang berkontribusi pada era Perang Kemerdekaan RI (1945-1949). Ia gugur di rumahnya sendiri saat melindungi para pejuang yang tengah bersembunyi di bawah tanah.

Namanya kini diabadikan sebagai nama jalan yang menghubungkan Desa Sedang dan Desa Mekar Bhuwana, Kecamatan Abiansemal, Badung. Sebagai sosok pejuang perempuan, belia, dan masih lajang kala itu, cukup sukar menelusuri kisah heroik Sampreg dalam bentuk dokumentasi dan peninggalan.

Namun, kisah heroik perempuan yang diperkirakan baru berusia 20-an tahun saat gugur masih diwarisi kerabatnya, Ketut Redita, 55. Redita adalah adik sepupu dari Sapreg meskipun secara usia terpaut jauh. Ayah Redita, I Nyoman Sinteg (alm) yang juga veteran penghubung saat perang kemerdekaan adalah paman dari Sapreg.

Kata Redita saat ditemui di kediamannya yang juga rumah kelahiran Sapreg, Jumat (9/8/2024), Ni Sampreg adalah petani biasa sama seperti anak muda yang hidup pada zaman itu. Di luar kehidupan sebagai petani, Sapreg juga simpatisan pejuang. Ia menyuplai logistik seperti makanan dan minuman kepada para pejuang.

"Karena beberapa meter dari rumah kami saat ini, dahulu itu ada lubang bawah tanah yang jadi persembunyian para pejuang. Nah, Ni Wayan Sampreg ini memberikan makan dan minum, seperti logistik begitu," ujar Redita, mengingat kembali cerita yang dituturkan ibu tirinya Ni Made Redi (alm).

Redita yang juga Sabha Desa Adat Sedang ini mengungkapkan, kakak sepupunya itu memiliki ciri khas ketika sedang membantu pejuang yakni memakai ikat kepala putih. Ketika ada pejuang yang bergerak di Sedang atau melintasi Sedang ke desa lain, ia tidak segan membantu meski taruhannya nyawa jika tertangkap tentara Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (NICA).

Suatu ketika, diperkirakan berdekatan sebelum hari H peristiwa Puputan Margarana, 20 November 1946. Serdadu Belanda mengepung pejuang di Desa Sedang yang juga menggugurkan I Wayan Geso, pejuang setempat yang kini diabadikan jadi nama lapangan umum Desa Sedang.

Sebagian pejuang berhasil bersembunyi di tempat persembunyian bawah tanah, salah satunya di dekat rumah Sapreg. Pasukan Belanda yang mengejar pejuang sampai masuk ke rumah warga memakan korban yakni Sapreg. Ia ditembak di merajan rumahnya sendiri saat berlari menuju persembunyian pejuang untuk menyampaikan informasi pengepungan.

"Anak lingsir (tetua) saya itu tertembak di bawah pusar hingga tembus ke punggungnya. Dikira sudah tewas dan ditinggal oleh Belanda, ternyata masih bertahan dan dirawat ibu (tiri) saya Ni Made Redi," imbuh Redita, putra keempat dari pasangan almarhum veteran I Nyoman Sinteg dan Ni Ketut Reden.

Dalam kondisi perut berlubang menembus punggung, Sapreg dirawat dengan peralatan seadanya. Luka di perut Sapreg diguyur air dingin dengan maksud mendinginkan panas melepuh akibat peluru dari senapan laras panjang penjajah. Kata Redita, Redi merawat Sapreg selama tujuh hari tujuh malam di bale gede.

"Bayangkan, kata ibu (tiri) saya, seorang perempuan, tertembak di perut. Lukanya kalau diguyur, airnya keluar dari lubang di punggung, masih bertahan tujuh hari tujuh malam dirawat di bale gede. Saya kalau mendengar cerita itu, bawaannya ingin menangis," ungkap Redita.

Redita mengakui, tidak ada catatan tertulis atau pun peninggalan fisik milik Sapreg yang masih bertahan hingga kini. Bekas peluru di palinggih pun telah ditutup saat renovasi merajan pada 2023 lalu. Ia menyebut, tidak terpikir mempertahankan bekas peluru itu lantaran dikira sudah tidak diperlukan lagi, terutama untuk urusan historiografi.

Bundaran Jalan Sapreg, Desa Sedang, Abiansemal, Badung yang diharapkan bisa dibangun Patung Ni Wayan Sapreg. –NGURAH RATNADI 

Kini, makam Ni Sapreg berada di Taman Pujaan Bangsa (TPB) Margarana. Setiap 20 November (Hari Puputan Margarana), keluarga dan kerabat datang untuk mamunjung yakni ritual ziarah makam menurut tradisi Hindu Bali. Kata Redita, di Margarana, Sapreg tercatat gugur tahun 1946 yang menandakan tahun terjadinya peristiwa penembakan di merajan.

"Kami sekeluarga berharap anak lingsir kami bisa diabadikan dan diberi penghormatan dalam bentuk patung di perbatasan Jalan Sapreg-Jalan Geso, tepat di bundaran di depan rumah kami. Sebelumnya sudah sempat diajukan namun belum ada realisasi, semoga ke depan ada," beber Redita.

Niatan membangun patung Ni Sapreg ini dengan harapan bisa menjadi pengingat dan pelajaran, terutama bagi kaum hawa mengenai sosok perempuan pemberani di Desa Sedang pada zamannya. Terlebih, kata Redita, tercatat hanya ada dua pejuang gugur di desa sendiri yakni I Wayan Geso dan Ni Wayan Sapreg.

"Semangat juang Ni Wayan Sapreg sekarang menurun ke anak perempuan saya Sertu Ni Kadek Yuli Laksmi Wirastuti, baru berusia 26 tahun dan sedang bertugas di Lanal TNI-AL Benoa (Denpasar). Mungkin restu dari anak lingsir kami yang gugur di rumah," tandas Redita. *rat

Komentar