Yang Mengubah Bali
SEPERTI tempat-tempat lain di muka bumi, Bali sudah tentu berubah sejak ribuan tahun silam. Dari dipadati binatang di hutan-hutan lebat, menjadi tempat bermukim manusia.
Mereka beranak pinak, membangun peradaban. Dan peradaban itu pun berubah terus. Dari zaman primitif, pra-sejarah, ke masa keemasan feodalisme di zaman kerajaan. Dari zaman kolonialisme ke masa kemerdekaan, kebebasan.
Semua perubahan itu tentu bisa ditelusuri oleh kaum sejarawan. Dan mereka akan menemukan sekian pertanyaan, sejumlah jawaban, juga ketidakmengertian. Tapi orang segera tahu, perubahan-perubahan yang melanda Bali semestinya nyaris selalu datang dari dua arah: dari dalam diri mereka sendiri, dan dari luar.
Bali pernah diserbu oleh gelombang pasukan Majapahit. Perubahan besaran-besaran terjadi. Sebelumnya, sejumlah rsi, mpu, rohaniwan, dari kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa Timur mengunjungi Bali, membawa peradaban baru, mengarahkan filosofi hidup. Ketika itu mereka membawa modernisasi, mengubah cara pandang masyarakat Bali asli perihal hubungan dengan roh, Tuhan, leluhur, dan alam lingkungan.
Spiritualisme kala itu menjadi spirit baru. Di zaman itu, diyakini Bali mengalami masa pencerahan, zaman keemasan, saat sekian ragam kesenian dan kebudayaan adiluhung diciptakan. Ketika seni memperhalus budi manusia, dan seniman seperti menjadi manusia pilihan dewa untuk menyampaikan pesan dan wahyu, buat menciptakan kedamaian.
Begitulah pengaruh luar yang mengubah Bali.
Lalu, sejauh mana pergulatan dan pergolakan dari dalam yang mengubah Bali? Adakah pendekatan dan penemuan baru yang dihasilkan dari dalam Bali sendiri yang mengubah peradaban itu? Sejak ribuan tahun silam, hingga kini, gagasan-gagasan apakah yang lahir dari rahim Bali untuk mengarahkan peradaban mereka? Bukankah ketika juru ubah zaman itu datang dari Jawa dalam gelombang spiritualisme dan invasi militer dari Majapahit, orang Bali yang tak sudi takluk melarikan diri ke pegunungan?
Tentu tak keliru jika dikatakan, yang mengubah Bali hampir sepanjang waktu berasal dari luar Bali. Di zaman kerajaan, perubahan itu datang dari Jawa Timur. Di zaman kolonial, perubahan itu dibawa oleh Belanda. Ketika turisme mulai tumbuh di awal 1930-an, perubahan itu dijinjing oleh kaum pelancong dari Eropa dan Amerika. Merekalah yang menjadikan Bali semakin eksotik, membuat kebiasaan baru: agar kaum wanita menari, jangan cuma lelaki. Dunia plesir adalah gerakan kaum petualang, yang membuat Bali berubah menjadi semakin hidup. Seni jangan cuma untuk dipersembahkan kepada Hyang Widhi, juga sepantasnya buat pelancong, dan bisa mendatangkan uang.
Dalam berkesenian pun orang Bali kemudian berubah. Perubahan-perubahan itu acap kali menjadikan orang gelisah, karena cenderung menjadikan kesenian Bali kian merosot. Konsumerisme membuat seni massal laris, pertunjukan turistik berbiak. Dan orang Bali berkomentar, semua itu berasal dari luar, tidak dari dalam. Jadi, yang salah bukan orang Bali.
Memang, orang Bali nyaris selalu menyalahkan orang luar jika terjadi perubahan buruk di Bali. Bukankah yang meledakkan bom di Kuta sehingga pariwisata Bali terkapar dilakukan oleh orang luar? Yang menularkan HIV, melakukan tindakan kriminal, juga orang luar?
Tapi, perubahan-perubahan baik juga hampir selalu disebabkan oleh kehadiran orang luar. Di Ubud misalnya, banyak orang asing yang memberi pengaruh positif terhadap perkembangan seni kriya. Rudolf Bonnet memberi pengaruh baru terhadap seni lukis. Walter Spies menjadikan tari sanghyang kecak sangat indah dan akrab dinikmati oleh siapa saja, seluruh dunia. Dari sentuhan seniman-seniman asing, orang Bali sadar memiliki daya kreasi yang luar biasa untuk dikembangkan.
Di zaman kini yang mengubah Bali juga pengaruh luar. Turisme yang melonjak-lonjak, sampai kemudian muncul istilah over tourism adalah karena desakan kaum pendatang: mereka yang bersenang-senang dan sekian ribu yang datang merebut remah-remah gula industri pariwisata. Bali pun menikmati lalu lintas dalam keseharian warganya. Dan mesti sabar bermasalah dengan turis ugal-ugalan.
Dalam urusan politik pun betapa keras pengaruh luar menekan Bali. Kendati para pemimpin, orang-orang Bali menempati birokrasi, namun tak bisa dielakkan betapa kuat pengaruh Pusat yang diemban partai politik dalam perubahan Bali. Cermatilah berita-berita yang hadir di NusaBali belakangan ini, penuh dengan laporan gejolak politik, dan betapa kuat terasa pengaruh Pusat dalam cengkeraman politik itu.
Lalu, kapan Bali diubah oleh orang Bali? Relakah orang Bali, disadari atau tidak, terus menerus diubah dan diarah-arahkan oleh orang luar? Tentu, hanya manusia Bali yang pantas dan bisa menjawabnya. 7
Komentar