nusabali

Risiko Kesehatan di Balik Seni Pedalangan

  • www.nusabali.com-risiko-kesehatan-di-balik-seni-pedalangan

MANGUPURA, NusaBali.com - Dalang adalah otak keharmonisan permainan wayang kulit sehingga ceritanya terasa hidup dan memiliki dunianya sendiri. Di balik kemahiran seorang dalang merekayasa vokal dan bunyi, ada proses latihan yang panjang dan tidak jarang berdampak pada kesehatan tubuh.

Dalang ibaratkan aktor multi peran dalam satu pertunjukan tunggal. Lewat teknik mengolah napas, dalang menghasilkan vokal, suara, dan bunyi yang khas sesuai tokoh pewayangan yang ditampilkan. Meski dimainkan satu orang, antartokoh pewayangan terasa pribadi berbeda berkat kekhasan vokal satu tokoh dengan tokoh lainnya.

Ketua Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibiya) Kabupaten Badung I Gusti Ngurah Artawan menjelaskan, ucap-ucapan dalang dihasilkan dari teknik suara bibir, rongga mulut, tenggorokan, dan perut. Juga, teknik artikulasi yang tidak jarang harus menahan napas untuk menghasilkan jenis suara tertentu.

"Ketika ucap-ucapan itu diperlukan manahan napas dan mengeluarkan energi dari dalam, mata itu melotot, telinga berdengung, perut terkunci," beber Gung Tut, sapaan akrab Ngurah Artawan ketika ditemui usai workshop wayang kulit serangkaian Festival Budaya dan Kreativitas Daerah di Puspem Badung, Selasa (13/8/2024).

Dari suara raksasa yang tertawa dan berteriak sampai suara keributan kera memakan energi yang tinggi. Kata Gung Tut yang juga Ketua Sanggar Topeng Tugek Carangsari ini, teknik 'ngore' atau menirukan suara wanara (pasukan kera) disebut teknik yang sukar dikuasai. Teknik ini adalah salah satu ciri khas wayang kulit Babadungan.

Suara ngore dihasilkan dengan menghalangi laju udara dari dalam dengan gigi dan mulut. Di saat bersamaan, lidah dilipat ke belakang sehingga menghasilkan suara mirip teriakan kera. Gung Tut menuturkan, belum tentu semua dalang Babadungan bisa ngore, apalagi menguasai teknik ini, tidak terkecuali dirinya.

"Teknik ngore ini sangat sulit dipelajari, termasuk saya sampai saat ini belum mampu. Sangat jarang dalang bisa (menguasai) ngore. Kalau terlalu ngore, gigi cepat keropos, pipi kembung, tenggorokan kembung," ungkap Gung Tut di hadapan para dalang muda dan senior yang mengikuti workshop.

Gung Tut yang mendalangi wayang Parwa, Ramayana, dan Cupak ini tidak menampik risiko kesehatan memang mengintai para dalang. Para seniornya telah mengalami berbagai efek samping seperti hernia, orang Bali kerap menyebutnya 'waduk macelos' (perut jebol). Kemudian, gangguan prostat dan ambeien karena duduk terlalu lama saat pertunjukan.

Risiko kesehatan ini sejatinya sudah diperhitungan para leluhur, sehingga dalam dharma pedalangan Bali, seorang dalang sebenarnya wajib memakai/mengonsumsi lekesan. Lekesan terdiri dari lima elemen yakni mako (tembakau kering), base (daun sirih), pamor (kapur), gambir, dan pala.

Lekesan adalah 'camilan' alami yang dikunyah seperti tradisi bersirih di daerah-daerah lain di tanah air. Kata Gung Tut, lekesan bermanfaat sebagai antiseptik dan obat alami yang sesuai untuk meminimalisir risiko-risiko kesehatan profesi dalang.

"Secara ilmiah, lekesan itu seperti obat alami yang bisa menguatkan gigi, juga berfungsi seperti antiseptik. Ketika ada luka di tenggorokan, bisa diobati dengan lekesan dan secara umum bisa menjadi obat di dalam tubuh," beber Gung Tut yang juga putra maestro tari topeng asal Desa Carangsari, Petang, Badung, I Gusti Ngurah Windia ini.

Terlepas dari risiko kesehatan yang mengintai seorang dalang, dalang-dalang muda malah tetap bermunculan di Bali dan khususnya Badung. Selasa sore, Listibiya Badung juga menggelar lomba wayang kulit usai workshop yang pesertanya adalah delapan dalang muda, wakil dari enam kecamatan di Gumi Keris dan dua peserta mandiri.

Di samping itu, Program Studi Seni Pedalangan di ISI Denpasar juga masih hidup dan beregenerasi. Menurut Gung Tut, hal ini karena dua faktor yakni karena mewarisi darah dalang dari leluhur atau karena keinginan sendiri mendalami seni pedalangan. Keduanya sama-sama bakal melestarikan kesenian wayang kulit di Pulau Dewata. *rat

Komentar