Ari Dwipayana: Anak Muda Bali Harus Mewarisi Semangat Api Puputan
Ari Dwipayana
Puri Kauhan Ubud
Puputan Margarana
Puputan Badung
Puputan Jagaraga
Puputan Klungkung
Kemerdekaan RI
GIANYAR, NusaBali.com - "Warisi apinya, bukan abunya," kata Presiden Soekarno, dikutip Koordinator Khusus Presiden AAGN Ari Dwipayana merujuk pada api semangat juang kemerdekaan yang seharusnya menjadi modal generasi masa kini untuk berkontribusi pada kemajuan negara.
Perjuangan di zaman kiwari ini memang sudah bukan lagi perlawanan konfrontatif dengan perang terbuka. Namun, api perjuangan yang melahirkan sebuah negara yang luas dan besar bernama Indonesia bakal tetap relevan sepanjang zaman.
Bulan kemerdekaan bukan satu-satunya momen menunjukkan jiwa patriotisme. Tapi, harusnya menjadi puncak refleksi nasionalisme dan patriotisme generasi penerus bangsa dengan mengilas balik dan berkaca dari nilai-nilai bela negara yang diwariskan para pejuang kemerdekaan.
"Kita harus mewarisi api semangat yang sudah ditunjukkan pendahulu kita melalui perang puputan, bukan abunya," ungkap Gung Ari ketika ditemui di sela acara penganugerahan Tanda Kehormatan Bintang LVRI di Puri Kauhan Ubud, Gianyar, belum lama ini.
Bali memang dikenal memiliki nilai dan semangat puputan yakni perjuangan sampai akhir, sampai titik darah penghabisan. Gamblangnya, lebih baik mati di medan perang dari pada harga diri bangsa diinjak-injak musuh.
Gung Ari menyebut, perang puputan sudah terjadi beberapa kali di Pulau Dewata dengan benang merah mempertahankan harga diri. Puputan Jagaraga (1848-49), Puputan Badung (1906), Puputan Klungkung (1908), dan Puputan Margarana (1946) adalah beberapa bentuk peristiwa heroik demi martabat bangsa.
"Spirit puputan itu luar biasa karena mencerminkan semangat untuk mempertahankan harga diri, kehormatan, dan kebenaran dengan risiko apa pun. Semangat ini yang harus kita teruskan," tegas Gung Ari yang juga Ketua Yayasan Puri Kauhan Ubud ini.
Di zaman kiwari, mempertahankan harga diri dan kehormatan bangsa dilakukan dengan memajukan negara, mensejajarkannya di antara kekuatan global. Hal ini bisa dilakukan jika anak muda Bali memiliki semangat puputan, berjuang sepenuh hati demi dharma negara. *rat
Bulan kemerdekaan bukan satu-satunya momen menunjukkan jiwa patriotisme. Tapi, harusnya menjadi puncak refleksi nasionalisme dan patriotisme generasi penerus bangsa dengan mengilas balik dan berkaca dari nilai-nilai bela negara yang diwariskan para pejuang kemerdekaan.
"Kita harus mewarisi api semangat yang sudah ditunjukkan pendahulu kita melalui perang puputan, bukan abunya," ungkap Gung Ari ketika ditemui di sela acara penganugerahan Tanda Kehormatan Bintang LVRI di Puri Kauhan Ubud, Gianyar, belum lama ini.
Bali memang dikenal memiliki nilai dan semangat puputan yakni perjuangan sampai akhir, sampai titik darah penghabisan. Gamblangnya, lebih baik mati di medan perang dari pada harga diri bangsa diinjak-injak musuh.
Gung Ari menyebut, perang puputan sudah terjadi beberapa kali di Pulau Dewata dengan benang merah mempertahankan harga diri. Puputan Jagaraga (1848-49), Puputan Badung (1906), Puputan Klungkung (1908), dan Puputan Margarana (1946) adalah beberapa bentuk peristiwa heroik demi martabat bangsa.
"Spirit puputan itu luar biasa karena mencerminkan semangat untuk mempertahankan harga diri, kehormatan, dan kebenaran dengan risiko apa pun. Semangat ini yang harus kita teruskan," tegas Gung Ari yang juga Ketua Yayasan Puri Kauhan Ubud ini.
Di zaman kiwari, mempertahankan harga diri dan kehormatan bangsa dilakukan dengan memajukan negara, mensejajarkannya di antara kekuatan global. Hal ini bisa dilakukan jika anak muda Bali memiliki semangat puputan, berjuang sepenuh hati demi dharma negara. *rat
1
Komentar