Dari Spiritual, Bali Jadi Pulau Festival
Piodalan dan perayaan hari-hari raya serta peristiwa-peristiwa adat yang sangat meriah memberi rasa gembira bersama-sama. Karena itu, piodalan dan perayaan hari raya selalu ditunggu. Hal ini juga sejalan dengan pengertian festival.
DENPASAR, NusaBali
Jauh sebelum Bali digandrungi festival seperti saat ini, masyarakat Hindu Bali telah terbiasa merayakan kehidupan dengan perayaan-perayaan. Berpijak dari pengertian festival sebagai ‘pesta’, festival dapat dijumpai pada kegiatan spiritual seperti piodalan atau pun kegiatan-kegiatan adat lainnya.
Festival berasal dari bahasa Latin festivus dan bentuk jamaknya ialah festum atau festa ‘feast’ yang berarti satu atau periode upacara keagamaan seperti upacara Panca Yadnya (Dewa, Rsi, Pitra, Manusa, dan Buta Yadnya).
“Salah satu festival yang paling unik di Bali adalah perayaan Hari Raya Nyepi yang jatuh pada bulan Maret setiap tahunnya,” kata Prof Made Bandem, kurator Pesta Kesenian Bali (PKB) dalam sarasehan serangkaian Festival Seni Bali Jani (FSBJ) VI Tahun 2024 di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya (Art Centre) Provinsi Bali, Kamis (15/8).
Piodalan dan perayaan hari-hari raya serta peristiwa-peristiwa adat yang sangat meriah memberi rasa gembira bersama-sama. Karena itu, piodalan dan perayaan hari raya selalu ditunggu. Hal ini juga sejalan dengan pengertian festival.
Akademisi Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Dr Wayan Artika menjelaskan, perspektif barat sering menyebut perayaan-perayaan di Bali (odalan, saba, karya) dengan festival (contoh sebuah artikel yang ditulis tahun 1979 berjudul ‘The Eleven Powers: The Festival of Eka Dasa Rudra’ atau ‘Galungan Festival in Bali: A Celebration of Spiritual Renewal’) atau ceremony. “Festival seringkali identik dengan perayaan, sehingga istilah ini merupakan hal yang sering kita temui karena berperan penting untuk menambah struktur sosial dalam kehidupan di lingkungan sosial yang biasanya memperkuat rasa kebersamaan serta sebagai upaya untuk membantu kita menjaga hubungan dengan akar budaya dan melestarikannya,” kata Artika dalam sarasehan yang sama.
Dalam struktur sosial di Bali, kesenian menjadi ‘lembaga’ yang punya posisi penting. Kata Artika, desa-desa (adat) umumnya memiliki kesenian barong, gambuh, wayang kulit, sastra, genjek, rengganis, dan lain sebagainya. Karenanya, dalam setiap festival di Bali, kesenian selalu mendapat tempat utama. Festival menumbuhkan kesenian, sekaligus dijiwai oleh kesenian.
Dalam konteks kesenian inilah, Artika mengkritisi sejumlah festival yang cukup marak di Bali belakangan ini, khususnya pascapandemi Covid-19. Dirinya mengakui, festival-festival baru yang muncul adalah kebutuhan bersama untuk berbagai tujuan, seperti nostalgia, pelestarian, ekonomi kreatif, dan lainnya. Karena itu, ide untuk membangun festival, lebih diutamakan ketimbang usaha membangun ekosistem pendukung festival, seperti kesenian.
“Jika paradigma ini dipilih maka festival tidak dapat membantu tumbuhnya ekosistem kesenian,” ujarnya.
Artika memuji pelaksanaan PKB yang berperan besar dalam menjamin tumbuhnya ekosistem kesenian di Bali, seperti sekaa. Peran ini tampak ketika PKB telah mampu menjadi motivator dan generator berkesenian yang menjadi daya hidup yang bermuara pada arena tahunan PKB.
Dia mengatakan, pembangunan ekosistem seni harus menjadi program festival. Bukan hanya festivalnya yang dipentingkan, tetapi pembangunan komunitas jauh sebelum festival dilaksanakan. Menurutnya, festival-festival yang menjamur saat ini belum sampai kepada pembangunan ekosistem seni. Festival-festival itu baru sebatas menyediakan arena bagi kekayaan seni yang sudah tumbuh di ekosistemnya.
Lebih jauh, Artika mengatakan, keberhasilan PKB yang menjadi pesta kesenian tradisi Bali, dapat digunakan sebagai model dalam mengelola FSBJ sebagai pestanya para seniman kontemporer Bali. Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah dengan mengetahui di mana kantong-kantong para seniman kontemporer Bali.
Sarasehan serangkaian Festival Seni Bali Jani (FSBJ) VI Tahun 2024 di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya (Art Centre) Provinsi Bali, Kamis (15/8). - SURYADI
Penyair Bali Tan Tan Lioe Ie mengakui perlu dilakukan pendataan seniman-seniman ataupun komunitas seniman kontemporer di Bali yang menurutnya tidak sedikit. Para seniman kontemporer Bali, ujarnya, banyak yang mengukir prestasi hingga ke panggung dunia. Sebut saja sastrawan Putu Wijaya, yang selain sudah dikenal secara nasional, juga pernah naik panggung Broadway di Kota New York, Amerika Serikat.
Di sisi lain, Tan juga mengungkapkan, kesenian modern Nusantara memiliki nilai yang tidak kalah dengan seni modern di dunia barat. “Pantun kita dipelajari di Prancis,” ungkapnya.
Sementara itu, sutradara I Putu Satria Kusuma menyayangkan film belum masuk FSBJ. Dia juga menyebut kesenian modern seolah masih dianaktirikan dibanding kesenian tradisi. Sutradara film Jayaprana Layonsari ini mengingatkan bahwa, selain kesenian tradisi, masyarakat Bali juga menggandrungi kesenian modern seperti film. Menurutnya ekosistem film di Bali harus terus dikembangkan.
“Kita bisa cek berapa orang Bali yang suka nonton film,” ucapnya.
Penggagas FSBJ, Putri Suastini Koster mengatakan, kesenian modern perlu mendapat keadilan di Pulau Dewata. Karena itu, istri Gubernur Bali periode 2018-2023 Wayan Koster, menggagas FSBJ enam tahun lalu untuk mendampingi PKB.
Seniman teater ini berharap, Bali nantinya juga dapat dikenal lewat kesenian modern-nya di samping kesenian tradisi yang sudah lebih dulu mendunia. “Orang datang ke Bali untuk seni budaya, termasuk seni modern,” ujarnya.
Putri Koster berharap FSBJ dapat digelar secara berkelanjutan bahkan semakin besar setiap tahunnya. Menurutnya, kebijakan pungutan wisatawan mancanegara (wisman) harus dialokasikan untuk festival budaya seperti FSBJ, untuk terus menumbuhkan ekosistem seni modern di Bali. “Ujungnya dari festival ini adalah para senimannya berkreasi dengan kreatif,” ucapnya.7a
1
Komentar