Lebih Dekat dengan Pura Bukit Pucak Sinunggal di Desa Tajun, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng
Disebut Pura Besakih Kedua, Tempat Memohon Restu Kepemimpinan
Piodalan di Pura Bukit Pucak Sinunggal jatuh pada Purnamaning Kapat atau saat bulan Oktober, namun piodalan ageng (besar) dilaksanakan dua tahun sekali
SINGARAJA, NusaBali - Pura Bukit Pucak Sinunggal salah satu pura sangat sakral bisa menjadi referensi tirtayatra penekun spiritual dan juga umat Hindu, yang ingin mencari ketenangan dan kedamaian. Pura ini terletak di puncak bukit 600 meter dari permukaan air laut, di antara hutan yang rimbun, wewidangan Desa Adat Tajun, Desa Tajun, Kecamatan Kubutambahan Buleleng.
Meski lokasinya jauh dari perkotaan dan agak terpencil, pura kahyangan jagat ini banyak diburu pamedek untuk menghaturkan bakti. Seperti yang dilakukan karyawan dan karyawati Harian Umum NusaBali pada, Jumat (16/8) lalu. Tidak hanya umat dari Bali saja yang sering kali datang untuk menghaturkan doa, tetapi juga banyak yang dari luar pulau Bali. Istimewanya pura ini dikenal sebagai tempat suci untuk memohon restu jabatan, baik di eksekutif maupun legislatif.
Untuk mencapai utama mandala pura, pamedek harus memulai ritual dan persembahyangan dari Palinggih Ratu Bagus Manik Ulap (Ampu Lawang) dan di jaba ada Palinggih Ganapati. Palinggih yang ada tidak jauh dari tempat parkir ini berfungsi sebagai penjaga niskala wewidangan pura.
Seluruh pamedek yang akan bersembahyang harus memohon izin dahulu di palinggih Ratu Bagus Manik Ulap dan Ganapati. Setelah itu barulah boleh menapaki ratusan anak tangga menuju puncak bukit dan utama mandala pura. Ratusan anak tangga itu pun dapat ditempuh dengan waktu sekitar 10-15 menit.
Setelah sampai di mandala utama akan disuguhkan dengan suasana yang hening dan tentram. Di lahan seluas kurang lebih 20 are ada sejumlah palinggih. Palinggih utama adalah gedong meru tumpang pitu yang menjadi stana Ida Bhatara Lingsir Ratu Bagus Manik Astagina.
Di meru itu terdapat pula patung Batara Ganesa, dan palinggih Ida Sang Hyang Pasupati. Di sebelah barat meru ini terdapat linggih Ratu Ayu Melanting dan Ratu Gede Dalem Ped (Ratu Bagus Macaling). Di sebelah timur terdapat jejeran tujuh palinggih yang merupakan pengayatan Sapta Dewata, terdiri atas Ratu Lempuyang, Besakih, Danu Batur, Andakasa, Batukaru, Manik Gumawang dan Ratu Puncak Mangu dan terdapat pula patung ke jurusan Segara Majapahit.
Pamangku Pura Bukit Pucak Sinunggal Jro Mangku Made Agus Tosa, menceritakan pura ini sudah ada sejak 1914 Sebelum Masehi (SM) atau pada abad ke lima. Sejarah menyebut pada masa itu, sudah dilaksanakan Pujawali atau Piodalan oleh Raja Bali Pertama Sri Kesari Warmadewa, tepat pada Purnama Kapat yang jatuh pada bulan Oktober.
Jro Mangku Made Agus Tosa –LILIK
“Ida Bhatara Lingsir Ratu Bagus Manik Astagina sebagai penguasa sumber kesuburan dan kesejahteraan Pulau Bali bahkan Nusantara ini. Pura ini layaknya sebagai pemerintahan, bank dunianya itu Ratu Ayu Mas Melanting yang menjalankan perekonomian,” terang Jro Mangku Tosa.
Piodalan di Pura Bukit Sinunggal jatuh pada Purnamaning Kapat atau saat bulan Oktober. Namun piodalan ageng (besar) dilaksanakan dua tahun sekali. Pada piodalan itu Ida Batara nyejer selama 7 hari. Saat piodalan ribuan pamedek tangkil dari berbagai daerah. Pura ini disungsung 11 desa adat masing-masing Tajun, Tunjung, Depaa, Tamblang, Sembiran, Pacung, Bangkah, Tangkid, Kelampuak, Bulian dan Tegal.
Jro Mangku Tosa mengatakan, sejak berdirinya Pura Pucak Sinunggal ini memang dikenal sebagai tempat bertapa yoga raja-raja Bali. Persembahyangan yang khusyuk ini biasanya untuk memohon tuntunan pemerintahan berjalan baik, masyarakat makmur dan tentram. Bahkan saat Raja Buleleng I Gusti Panji Sakti saat menyeberangi lautan dan akan menggempur Blambangan kehilangan arah. Setelah memohon restu Ida Bhatara hatara Lingsir Ratu Bagus Manik Astagina, seketika ada cahaya yang tembus hingga Pulau Jawa sebagai petunjuk jalan. Raja Panji Sakti yang berhasil memenangkan pertempuran dan merebut Blambangan pun akhirnya membayarkan kaul dengan menghaturkan kerbau bertanduk emas pada masa itu.
Hingga saat ini pun sering ada pejabat yang datang untuk memohon restu kepemimpinannya atau yang akan mengikuti perhelatan politik untuk dapat berjalan sesuai harapan. “Kalau yang mohon tamba (obat) itu biasanya datang-datang sendiri karena mendapat pawisik atau mimpi. Kalau pejabat yang datang juga banyak memohon kelancaran dan situasi yang kondusif. Seperti kemarin saat Pilpres ajudan pak Prabowo dan ajudan Pak Ganjar (Ganjar Pranowo) sempat tangkil ke sini untuk memohon kelancaran Pilpres dan situasi aman tenteram,” imbuh Jro Mangku Tosa.
Situasi di mandala utama Pura Bukit Pucak Sinunggal di Desa Tajun, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng. –LILIK
Sementara itu Pura Pucak Sinunggal ini pun disebut sebagai Pura Besakih Kedua Pulau Bali. Jro Mangku Tosa menyebut, hal itu dikarenakan situasi pada zaman dahulu dengan keterbatasan akses dan transportasi yang tidak memungkinkan masyarakat Buleleng tangkil ke Besakih yang ada di Karangasem. Sejumlah palinggih pengayatan pun dibangun di Pura Pucak Sinunggal dan beberapa pura lainnya di wewidangan Desa Adat Tajun yang menjadikannya kawasan ini palinggih yang sangat lengkap, menyerupai Pura Besakih di Karangasem.
“Pura ini difokuskan menjadi Besakih kedua Bali semenjak Raja Panji Sakti berhasil menaklukkan Blambangan. Selain palinggih-palinggih di pura ini, ada juga beberapa pura di sekitar seperti Pura Singajaya, Pura Goa Raja, Pura Siwa Bhuana, Pura Pengubengan Sri dalem Solo, Linggih Ida Pedanda Sakti, Ida Bujangga Sakti, Ida Panca Tirta dan Pura Peninjauan,” jelas Jro Mangku Tosa secara rinci.
Kesakralan Pura Pucak Sinunggal juga sering kali memberikan pertanda jika terjadi gangguan alam nusantara. Seperti beberapa tahun lalu, pohon beringin ratusan tahun yang menaungi palinggih di utama mandala penuh dengan ulat. Saat itu perekonomian dunia menurun drastis karena Covid-19. Namun saat situasi kembali normal, kondisi daun pohon beringin pun lebat secara misterius. 7 k23
1
Komentar