nusabali

Kutu Loncat

  • www.nusabali.com-kutu-loncat

DI zaman Orde Baru, pertanian memperoleh perhatian penting dari pemerintah.

Kaum tani acap kali naik panggung, tampil dalam berbagai perhelatan. Kontes ternak, pameran perikanan atau perkebunan rutin digelar. Peternak juara dapat hadiah bibit sapi atau kambing. 

Kala itu petani sering disanjung-sanjung, duduk rapi dan kalem di depan Pak Harto yang memberi wejangan tentang pertanian, lantaran dia sendiri mengaku sebagai anak desa yang paham seluk beluk sawah dan bercocok tanam.

Para petani tampil di televisi, ketika acara tebak cermat antar-kelompok tani, untuk menebak pola tanam yang pantas di musim tertentu. Atau berlomba menangkap belut di baskom sambil disemangati riuh tepuk tangan oleh rekan mereka. 

Tapi, di zaman itu juga banyak hama tanaman muncul, seperti virus tungro yang meludeskan padi hingga ribuan hektare sawah puso, gagal panen. Atau virus CVPD (Citrus Vein Phloem Degeneration) menyerang tanaman jeruk sehingga buahnya keras membatu. Ribuan hektare tanaman jeruk dieradikasi di zaman itu. 

Tahun 1980-an ratusan keluarga petani di Desa Bondalem dan Tejakula menjerit menangis karena tanaman jeruk mereka harus dibakar dan dibasmi pemerintah agar CVPD tidak meluas. Keluarga petani yang dulu kaya raya karena jeruk, jatuh miskin dalam sekejap. Tidak sedikit anak muda putus kuliah di Jawa, dipanggil pulang ke Bali karena tiada biaya.

Salah satu hama yang sangat populer ketika itu adalah kutu loncat. Hama ini menyerang tanaman lamtoro gung (Leucaena leucocephala), tanaman polong yang sering digadang-gadang sebagai tanaman unggulan untuk pakan ternak.  “Pucuk daunnya yang muda bagus buat sayur,” ujar Pak Harto di hadapan ribuan kelompok tani memberi semangat sembari tersenyum dan terkekeh-kekeh, agar petani merawat lamtoro gung itu. “Kayunya juga bagus untuk bahan kandang ayam,” tambahnya.
Tatkala begitu antusias petani dan peternak menanam lamtoro buat pakan kambing dan sapi, hama kutu loncat muncul merangsang tanaman andalan yang daunnya hijau segar sepanjang musim ini. Kutu loncat membuat lamtoro lunglai, gersang, keriput. Hama kutu loncat menyerang pucuk-pucuk daun muda, dan menyergap dalam tempo singkat lamtoro-lamtoro sekitar. Lamtoro yang hijau royo-royo di sepanjang pematang sawah menjadi ringkih. Hamparan yang dinaungi ratusan lamtoro yang sengaja ditanam buat pakan ternak, jadi gersang, kering.

Semua disebabkan oleh hama kutu loncat. Sesuai namanya hama ini terbang meloncat dari satu pohon ke pohon lain. Dan merusak, membuat tanaman mati meranggas. Daya rusaknya memang luar biasa, membuat lamtoro habis binasa.

Sejak saat itulah kita mengenal istilah kutu loncat dalam kehidupan sehari-hari. Julukan ini buat mereka yang suka berpindah-pindah. Perpindahan itu semata pergeseran tempat, atau fisik, sering juga dimaknai sebagai perpindahan ideologi, cara berpikir, penghayatan atau sudut pandang. Dalam dunia kerja misalnya, kutu loncat bisa buat menggambarkan seseorang yang sering gonta-ganti pekerjaan dalam waktu singkat. Misalnya, karena diiming-imingi gaji lebih besar dan karir cepat melesat.

Tahun 1980-an acap terjadi wartawan pindah-pindah media. Investor yang hendak mendirikan media baru, membajak wartawan dari media lain dan memberi gaji lebih besar. Suatu ketika wartawan ini pindah lagi ke media lain, naik pangkat menjadi redaktur pelaksana. Dalam bisnis perbankan kala itu juga sering terjadi karyawan kutu loncat.

Kini, ketika pilkada menjelang, kita juga menemui banyak kutu loncat. Kali ini loncatannya tidak antar-pohon atau antar-perusahaan, tapi antar-parpol. Hampir saban hari, sejak pencalonan pemilihan legislatif, kita membaca berita politisi yang hengkang partai. Menjelang pilkada berita sosok kutu loncat itu semakin sering. NusaBali (Jumat, 23/8) menurunkan berita seperti itu, mewartakan politikus yang pindah partai.

Kutu loncat dalam panggung politik tentu bukan hal istimewa. Di Amerika Serikat pun tokoh politik yang disegani dari Partai Republik ada yang menyeberang ke Partai Demokrat, atau sebaliknya. Namun, tentu tidak sesering di Tanah Air yang kini loncat partai menjadi sesuatu yang lumrah. Peristiwa ini memberi petunjuk kepada publik, jangan terlalu berharap banyak pada fanatisme, kesetiaan, integritas, dalam berpolitik. 

Kutu loncat adalah hama, binatang pengganggu dan perusak. Hama ini jangan dibiarkan, mesti dibinasakan, jangan dipelihara karena akan merusak inangnya. Jika induk binasa, tanaman akan terkulai layu, busuk dari dalam, kemudian hancur menjadi sampah, lebur dengan tanah. 7

Komentar